Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Demikianlah. Di kota ini kau tidak hanya bertemu dengan orang-orang yang berwajah ramah, terkadang ada yang bajingan. Percayalah, tetapi kau akan tetap ingat Tanjungkarang, sebagaimana yang terus dilahirkan dalam puisi-puisi para penyair. Mungkin, kau akan mencatat riwayatmu sendiri, menghidupkan tungku api akan kerinduan sebuah petualangan baru yang kerap dipenuhi dengan sembilu. Di Tanjungkarang, sebuah petualangan selalu menggoda, para petualang yang tak henti-hentinya mengembara. Apabila hujan turun di Tanjungkarang, mungkin kau akan tergesa melangkahkan kaki, pulang ke rumah. Berharap lindungan bagi tubuhmu di sebuah tempat. Sebuah lingkup yang terasa begitu kering-kerontang. Yang mungkin bisa menyelamatkanmu dari kuyupnya, yang tentu saja membuat tubuhmu menggigil kedinginan bila hujan jadi turun. Membuat seluruh pakaian yang kau kenakan menjadi basah. Hujan menderas, mencabik-cabik, membuka segala kenestapaan. Jika itu yang terjadi, bisa saja kau bermain-main lepas, menangkap riak airnya yang gemeriak, melepaskan gaduh dan penat, semacam ruang sunyi yang teramat panjang, begitu menggoda untuk segera menyadarkan dirimu. Namun nampaknya langit tak lagi memberi tanda. Angin tak lagi dingin, cuaca begitu cepat berubah, menggantikan kita di antara channel televisi yang menangkap gambar-gambar maya. Dan hujan yang kau harapkan tak juga datang-datang. Kau begitu merindukan suara geludhuk-nya yang membuka setiap tabir dirimu, berlapis-lapis. Kau ingin membuka tirai pencarian dirimu sendiri yang tak kunjung ketemu. Katarsis yang kata orang, hanya bisa didapat dari puisi. Kau tak menemukan pencerahan itu. Hanya sebuah kemarau panjang, debu-debu yang terbang bagai partikel yang menyalibmu dalam sebutir masa lalu. Terkadang terasa begitu buram. Bahkan, ketika kau baca artikel di surat kabar berulang-ulang, kau tak temukan sesuatu yang baru. Kau hanya menemukan potongan kata yang dijual, disilet, disetubuhi berulang-ulang. Kata-kata itu berlompatan, menerjang pikiranmu, membuatmu senantiasa terjaga, pada setiap suara yang ingar-bingar. Kata-kata yang tak lagi menghadirkan makna baru bagi dirimu. Kata-kata yang telah dipenuhi dengan kegombalan. Kata-kata yang rapuh dan tak bisa tegak sekadar menghadapi realitas yang terjadi. Kata-kata yang hanya meninggalkan guratan tanya, sebuah ruang kosong di dadamu.

Jika hujan turun di Tanjungkarang. Mungkin, akan selalu kau rindukan --sampai sekarang, di saat kau tertawa begitu lega. Sebuah kasmaran yang tak kunjung berkesudahan. Sebuah cinta yang mendadak terbelenggu.

Kini kau merindukan hujan. Rindu purba yang terus terekam di kedua bola matamu. Seperti kau mencium perempuan itu dengan rakus di malam yang gulita. Seperti kau tuntun jemarinya yang lembab, menghitung kelokan-kelokan. Kau begitu bergairah saat itu, matamu menyala, menyimpan api. Sayang, sekam telah lama mematikannya. Kau ingin abadi, tetapi yang didapati hanya kefanaan waktu. Seperti ajang mampir minum, di sebuah kedai, ketika kau membaca paragraf-paragraf dirimu sendiri. Hari ini, hujan tak jadi turun. Padahal butir-butir air itu begitu kau rasakan telah turun, dengan luncuran yang sekerjap, dari atas langit. Kau melihat lagi langit itu, begitu sendiri dan sepi. Mirip dirimu, ketika kau hampiri wajahmu sendiri di depan kaca, memandang sunyi yang itu-itu juga. Memandang kamar yang itu-itu juga. Berangkat melintasi jalan yang itu-itu juga. Berbicara banyak-banyak. Tertawa banyak-banyak. Bersedih banyak-banyak. Apakah hidup? Kau mencarinya, tetapi tak kau dapati kesangsian itu, ketika kau menyibak lembar-lembar buku dan begitu payah menafsirkan jejak kalimat yang mencakar kepala dan kau membuka jendela, memenuhi paru-parumu dengan hawa yang baru. Tetapi yang terasa kehampaan itu lagi, yang terus tergelincir --memaksamu tertatih dalam melangkahkan kaki. Kau ingin segera terlepas dari kebosanan ini. Merancang sebuah pekerjaan baru, membenamkan dirimu dengan seabrek rutinitas yang baru. Namun kau kerap terulang pada keadaan itu. Di mana hujan? Kemarau sudah lama berendam di sini. Membuat panas menjadi ejekan, membuat matahari terus terbakar di kulit-kulit yang bercucuran peluh.

Jika hujan jadi turun di suatu kota, yang sempat kau ingat, mungkin kau akan menyimpannya dengan kerling harap. Membiarkan butirannya menyulapmu jadi kanak-kanak. Membuatkan kubangan yang baru, di mana kau biasa berendam berlama-lama di sana. Atau bisa saja, kau hanya berdiri termangu, duduk di sebuah meja, menghadap ke jendela, sambil melihat tetes air yang menggoda. Barangkali akan membuatmu tersenyum senantiasa. Bukan senyum yang penuh kepura-puraan, dengan tawa-tawa yang terasa begitu terpaksa. Tawa yang keras, tetapi yang tersisa di relung udara hanya sebuah kekosongan.

Kadangkala, kau merasa hujan berada di depanmu. Di sana memang ada hujan, pada saat kau tudingkan jari telunjukmu, ke suatu tempat entah di mana. Kadangkala pula, kau pikir hujan hanya mainan dari Tuhan. Pada suatu saat, Tuhan sedang berpesta pora dan menyiramkan air yang banyak-banyak ke bawah sana. Seperti sebuah limbah yang bermuara ke sungai, kemudian bermuara ke laut. Mungkin, tebakmu, Tuhan sedang sedih --melihat manusia-manusia celaka. Yang selalu bebas menikami sesamanya, yang selalu membenarkan tindakannya dengan dalih apa pun. Menciptakan peluru, mesiu dan bom untuk membantai gen--nya sendiri. Tuhan menangis, lalu itulah hujan. Kau merasa betapa berlarut-larut kesedihan Tuhan, menurunkan hujan sampai lama.

Seperti legenda Nuh, yang menyiapkan kapal besar, mengundang semua hewan di dunia ini untuk berlayar, berpasang-pasangan. Kemudian, hujan turun tujuh hari, tujuh malam, membuat ceruk yang dalam. Menciptakan lautan. Benarkah Tuhan sedang menangis waktu itu?

Lalu, kau mencoba membayangkan bagaimana hujan yang turun pada saat itu. Mungkin begitu deras, menerobos masuk di setiap celah. Bergolak di mana-mana. Kini, wajahmu pucat, tubuhmu bergetar membayangkannya --kau takut jika hujan jadi turun akan seperti itu. Kau merasa tak nyaman, tiba-tiba peluhmu menetes. Mendadak kau digerus kesakitan yang amat sangat. Jika hujan jadi turun semacam itu, kemanakah dirimu akan berlindung. Ketika hujan begitu deras, menghancurkan setiap labirin impian, ketika malaikat lupa untuk berdoa lagi. Ketika dunia ini dipenuhi dengan kecurangan. Ketika malam tak lagi gelap. Ketika matahari tak bersinar lagi. Ketika bumi tak lagi bergerak. Ketika daun-daun yang sudah coklat tak mau jatuh ke tanah. Ketika jam tak lagi berputar ke kanan. Ketika masalah sosial disulap dengan metafisika. Ketika kalender tak lagi mengganti tahun-tahun baru yang dipenuhi dengan kesesalan.

Ketika….

Ketika…..

Ketika….

Entah mengapa, kau selalu mengenang hujan. Terlebih lagi buat hujan yang turun di suatu kota . Kau sendiri tak pernah bisa menjelaskannya. Kesemuanya hanya melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang begitu abadi. Yang selalu menyengat tubuhmu, sama persis ketika kau tersengat aliran listrik dari hitter, pemanas air ketika kau ingin membuat secangkir kopi pagi itu. Hujan seperti menyihir dirimu, tanpa mantra yang biasa meng-hipnotis seseorang. Hujan seperti menciptakan lagu-lagu sendu, yang melahirkan requiem panjang. Begitu menyayat. Kemudian, kau selalu mengumpulkannya butir demi butir air yang melesap ke dalam tanah. Seperti terseret dalam sebuah adegan, membuat kepalamu dipenuhi kelinglungan --membuatmu tak mengerti: apakah yang sedang terjadi pada dirimu?

Tetapi di mana hujan? Kau hanya menemukan kekeringan dan kehampaan baru. Kau melihat tanah-tanah yang pecah-pecah, daun-daun yang menjelma jadi coklat. Angin yang bertiup dengan kencang, menyimpan hawa panas yang menusuk setiap pori .

Kau tak jadi pulang saat itu. Kau lihat langit begitu cerah, awan putih mengekor, bergerak dan menjauhi dirimu, lalu muncul lagi. Ah, langit yang itu-itu lagi. Biru yang sama, biru yang kemarin. Langit yang sama, masih langit yang kemarin. Awan yang masih putih, bergerak, seperti dalam sebuah film --terus berulang-ulang.

Kau tertahan di suatu tempat. Kenangan kembali mengeras di setiap pucuk ingatan. Kau terseret dalam pita masa lalu, sebuah blitz yang menyoroti peristiwa yang lahir dari tubuhmu, di mana kau masih duduk di bangku sekolah. Tertawa riang. Mulai jatuh cinta dengan perempuan. Mulai mimpi basah dengan seluruh gemintang harap. Mulai mencoba merokok... Apakah yang menyebabkan dirimu mendadak cepat tua? Apakah yang menyebabkan tubuh cepat menyerah pada waktu? Betulkah kau tak pernah menipu waktu untuk menghukum dirimu agar setia dan abadi?

Jika hujan jadi turun. Di suatu kota, yang kerap dijadikan puisi bagi seorang penyair. Mungkin kau akan terbaring saja di atas ranjang. Tidur telentang, merasakan setiap udara dingin yang memasuki ruang kamarmu. Menenggelamkan impianmu kembali. Bukankah yang indah adalah bermimpi? Di mana kita bisa dengan segera berubah menjadi siapa saja, sesuka hati saja?

Di mana hujan? Ternyata semakin jauh kau tunggu, semakin lama ia datang. Hujan mendadak menjelma jadi kesangsian yang terasa meninggalkan dirimu dengan kristal beku. Yang terus mengurungmu. Kau tak mendapatinya di mana-mana. Dan hujan tak lagi datang dan kau merasa ditinggalkan dan dari panas itu kau seperti terhentak pada sinar matahari, yang selalu menghadirkan sebuah cerita dari dunia yang dipenuhi kekeringan.

***

Begitulah. Dongeng itu sebenarnya belum habis. Tetapi, ada birahi yang timbul dari dalam tubuh kedua pengantin itu. Mereka berpagutan, saling menjelajahi tubuh masing-masing. Ciuman demi ciuman habis, malam semakin terbenam.

Dhesi berkata, "Mas, coba hujan turun ya malam ini."

"Ehm."

"Ih, Mas, aku jadi kangen loh, jika hujan turun di Tanjungkarang," mata perempuan itu berkaca --seperti ada kilatan yang berkelebat.

Si lelaki sibuk membelai rambut. Sambil bergumam, "Ah, kau. Itu kan hanya sebuah dongeng.". Tiba-tiba, ruang pengantin itu sunyi.

Syahdan, di suatu tempat, barangkali di Tanjungkarang, hujan turun, begitu deras…

Bandarlampung, Tupai 40, 2003

*) Nominie Krakatau Awards 2003 yang digelar Dewan Kesenian Lampung.

Previous