Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Melaju cepat ke biro perjalanan yang lumayan jauh dari kediamannya mesti dilakukannya. Jarak tempuh bisa diatasi yang kebutan cerdas. Artinya, bisa menmebus jarak dengan cepat dan cermat menghindari bahaya.Karena jalanan tak akan dibiarkannya mencelakakan diri.

Pertanyaan perempuan manis dan ramah customer service biro perjalanan itu, membuatnya tercenung dan malu. Tergagap ia menjawab, "Ke Pontianak!" kata itu keluar setelah hitungan detik terpikirkan. Meskipun mengutuk diri dalam hati, kenapa dari tadi tak terpikirkan. Ah, semoga saja pilihan terbang ke kota itu tepat memenuhi keinginan.

Perempuan di depannya itu tersenyum meminta sabar sejenak, lalu mengecek jadwal penerbangan apa saja ke Pontianak.

Ada tujuh penerbangan. Tinggal memilih pesawat yang mana, dan harga yang mana. Pilihannya tak berubah. Ia memilih pesawat yang sudah ada dibenaknya sedari rumah. Diyakini akan membawanya mencapai keinginan yang sudah memberontak di hati. Juga memeras otaknya untuk selalu berpikir cara tepat untuk meluahkan niat dan keinginan yang menyenak itu. Yang membuat hari-harinya tak lepas dari kerubungan rencana-rencana lalu terbantahkan. Sebab, cara-cara yang ditemukannya terpikir tidak akan tepat untuk segera mencapai niatnya. Disebabkan terlalu beresiko dengan hasil yang belum tentu pasti. Dan meskipun cara ini mungkin tidak feminim dan mungkin pula brutal mengenaskan, tapi paling memungkinkan untuk sebuah kepastian merealisasikan segera keinginannya. Dan akan terlihat sebagai sesuatu yang natural. Sehingga ia tidak akan menerima tudingan lagi, sebagai orang bodoh, "sakit" bahkan tidak waras.

"Aku sangat waras dengan semua perjalanan hidupku." desis pemberontakan itu membuat gerahamnya menggerutuk lagi, seperti biasa-biasanya. Demi untuk sebuah komitmen waras, niat itu muncul. Bagaimanapun, ia tidak akan mau memaksakan keinginan atas orang lain. Orang yang semestinya bagian dari dalam perjalanan hidup. Bagian dari jiwanya. Tapi soal penyatuan jiwa siapa yang bisa memaksakan? Dan memang kesia-siaan atas hidup adalah ketika diri tidak lagi dibutuhkan oleh yang paling diinginkan. Lagi pula, jiwanya sudah lama mati...Tinggal fisik yang lelah menopang jiwa yang sedemikian.

Namun, sampai kapanpun ia tidak akan mencemarkan sejarahnya dengan sesuatu yang terlihat bodoh oleh siapapun.

Tangannya bergetar menerima tiket tersebut. Tenggorokannya tercekat, sehingga kalimat terimakasih pada perempuan customer service itu tak begitu terdengar jelas. Dan segera secepatnya berlalu membawa tiket dalam genggamannya.

*****

Lapangan terbang Supadio, Pontianak , sudah diinjaknya. Meski injakan kakinya limbung, badannya masih dingin. Airmata sudah mengering membekas di wajahnya yang masih nampak pucat pasi. Ia tidak kuat melangkah lagi, berselonjor di salah satu sudut ruang. Seorang jururawat menyambar tangannya, agar bisa dipapah.

"Maaf, aku tak apa-apa. Biar aku duduk rileks di sini." sergahnya.

Jururawat itu memastikan," Tapi Mba lemas, dan pucat sekali.."

"Aku hanya ingin duduk di sini, tolong tinggalkan aku."

Jururawat itu paham,"Nanti ada yang bawakan air putih, kalau ada apa-apa tinggal bilang yah?" katanya segera beranjak cepat, menyusul beberapa penumpang lain yang lebih memerlukan pertolongannya.

Dan ia memang termasuk yang baik kondisinya, selain beberapa orang lain. Sementara tak sedikit yang benar-benar memerlukan pertolongan jurrawat itu. Belum lagi yang mungkin tengah meregang nyawa dalam bangkai pesawat yang kian membara, tak jauh dari landasan pacu.

Beberapa orang kembali mendekatinya, yang diusirnya halus. Karena duduk berselonjor memang sangat dibutuhkannya saat ini. Untuk menenangkan diri dari puncak kepanikan yang dialami beberapa menit lalu. Juga orang-orang di ruangan ini, karena telah bertemu dengan sanak keluarga. Meskipun masih banyak yang masih panik dan bergerak tak tentu arah. Yang masih sadar mencoba untuk bersabar. Yang bertemu sanak saudara memeluk tangis seolah tak mau dipisahkan lagi. Meskipun berpisah adalah muara dari setiap pertemuan dan pasti akan terjadi. Yang misteri hanyalah waktu. Kuasa waktu, empunya cuma satu. Dan bukan kuasa dan hak siapapun. Iya, bukan hak siapapun. Terlalu arogan untuk mengambil hak itu dari si empunya yang satu.

Matanya kembali berlinang. Ia ingin menjerit meskipun terwujudkan desis saja, "Tuhan maafkan kelancangan jiwaku?."

***

Batam, Maret 2007

Previous