Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Memangnya bapak dan ibu mau berenang?"

"Lha, tidak."

"Kenapa kolam renang kamu bersihkan?"

"Lha tiap pagi aku bersihkan, kayak kamu merawat bunga. Coba. Memangnya ibu pagi ini mau ke taman memetik bunga?"

"Ya, ndak."

"Memang tidak!" Seorang sopir melintas. "Jadwal ibu padat! Ke panti asuhan, rumah jompo, bank, sekolah Mbak Nita, rumah singgah..."

"Jadi karena itu mas-mas sopir cuci mobil pagi-pagi?"

"Lho, ya ndak. Tiap pagi kami juga cuci mobil, panaskan mesin. Seperti kalian nyiram kembang, membersihkan kolam renang!"

"Tuh, kan!" Mereka tertawa, berseri-seri seperti matahari menjalarkan cahaya. Dan sopir tertegun. "Mati aku! Keran belum kututup!" Ia pun lari terbirit-birit.

"Dasar pikun!" Perawat kolam renang dan tukang kebun mengeraskan ketawa sambil terus bekerja. Hidup adalah tangan yang bekerja.

*

MATAHARI terus mendaki. Perempuan itu usai mandi, mematut diri di muka kaca. Lelaki itu telah berangkat ke kantor. Anak-anak sekolah. Di belakang dan ruang lain hanya suara-suara pembantu, lapat-lapat. Rumah sunyi.

"Jangan memandang aku terus," ujar perempuan itu melihat cinta menatap tak putus-putus. "Aku jadi malu."

"Kamu cantik."

"Ah." Ia tersipu. "Aku tidak muda lagi. Sebentar lagi empat puluh."

"Tapi wajahmu bercahaya."

Perempuan itu kembali tersipu-sipu, bak gadis remaja.

"Apalagi hatimu," bisik cinta. "Dari waktu ke waktu semakin cantik."

"Oh. Itu... itu karena kamu."

"Tidak. Karenamu. Aku tidak berarti bila kau tak sudi padaku."

Telepon bernyanyi. Perempuan itu menyambarnya dengan jemari yang lampai. "Selamat pagi! Oh. Sudah siap. Mau berangkat. Panti asuhan dulu. Ya, jumpa di situ, saja Bu Budi!" Ia tegak, aroma wangi merebak. Diambilnya tas, bergegas melangkah. Hak sepatunya berdetak-detak di lantai marmer, memantulkan betis yang indah.

"Sibuk sekali hari ini?" bisik cinta saat ia melintas di ambang pintu.

"Sangat!" Ia tersenyum.

Jadwalnya memang padat. Panti asuhan, rumah jompo, bank, sekolah anaknya, rumah singgah... Tapi ia senang. Bergairah, terlebih dengan rupa-rupa kegiatan sosial yang digeluti sejak lama. Dia bukan sekadar penyumbang materi.

Di panti asuhan dia tebar kasih, dan harapan berkilau di mata anak-anak. Pun begitu pada penghuni rumah singgah. Di rumah jompo dia menyanyi, bercakap-cakap, menyuapi, dan sunyi berlalu dari mata orang-orang tua tiada daya itu. Hidup adalah melayani, bisiknya selalu.

Matahari terus mendaki, tak henti-henti mendekat puncak hari. Urusannya pun sudah selesai di sekolah anaknya. Juga di bank. Perempuan itu meluncur menuju panti asuhan. Tapi sopir itu teledor lagi. Lupa memencet sentral lock . Di kemacetan lampu-merah seorang lelaki menerobos pintu belakang, masuk, merenggut tas, menusukkan belati. Cepat sekali. Perempuan itu tak sempat menjerit.

Hanya terpana, lalu merintih, terkulai. Bahunya luka. Bajunya berdarah. Sopir teriak, memijit klakson keras-keras, bergegas ke luar. Namun lelaki itu lenyap di sela-sela mobil. Cepat sekali!

*

KINI perempuan itu terbaring di rumah sakit. Pundaknya dijahit. Suami, anak, kenalan, sahabat, berdatangan. Orang-orang memandang cemas, bertanya-tanya.

"Dokter bilang tak apa-apa," jawabnya menenangkan. "Cuma kulit dan sedikit daging bahu saya robek. Tampaknya penjahat itu ingin bikin shock saja. Agar saya tak sempat teriak."

Suaminya manggut-manggut, membenarkan. Tapi orang-orang tetap khawatir, meski tak nyinyir lagi bertanya. "Ya," sambung suaminya. "Sekarang pun sebetulnya bisa pulang. Tapi, baiknya besok saja. Ada kalanya seseorang istirahat di rumah sakit, bukan?"

Para pengunjung tersenyum. Perempuan itu juga. Dan saat itulah dia lihat ada yang tidak ikut tersenyum. Malah muram, dan menjauh, seperti merasa amat bersalah. "Hai," bisik perempuan itu. "Kemarilah, mendekat ke sini. Mengapa jauh- jauh?"

"Biar di sini saja. Aku cuma mau melihatmu. Dan ingin mengucapkan selamat tinggal. Kini kau tentu tidak peduli lagi padaku, setelah peristiwa itu."

"Oh, jangan bilang begitu." Perempuan itu berbisik. Seperti biasa tak ada yang mendengar. Orang cuma melihat dia berbaring, pucat, tapi itu wajar bagi orang sakit; usai mengalami peristiwa mengerikan. "Biar ia istirahat. Mari!" Dan mereka keluar.

"Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!" Perempuan itu memohon melihat cinta juga hendak bergerak meninggalkan kamar bersama pengunjung.

"Kau tak memerlukan aku lagi." Cinta menoleh sedih.

"Oh, jangan katakan itu. Aku perlu kamu. Aku selalu menginginkanmu."

"Kau telah bertemu lelaki buas itu. Sekarang bahu, besok mungkin jantungmu dia tikam. Dan sekarang hatimu tentu mulai ditumbuhi dendam."

"Tidak," bisiknya serak, merasa amat berduka. "Jangan nilai aku serendah itu. Aku kasihan. Aku iba padanya. Aku sempat melihat matanya. Kemiskinan dan putus asa yang membuat dia begitu."

"Begitukah?"

"Mengapa kau ragukan aku?" ia balas bertanya.

Cinta terdiam. Dan tiba-tiba menangis. Bercucuran air matanya. Perlahan-lahan didekatinya perempuan itu. "Maaf, bila aku mendugamu yang bukan-bukan," bisiknya lunak, seperti biasa. "Tidak, aku tak akan pergi. Kau tidak akan kutinggalkan!"

"Oh." Perempuan itu mendesah lega. Dan ia pasrahkan dirinya dipeluk tangan-tangan cinta. Tubuhnya terasa kuyup bergetar. Pengunjung yang baru datang melihat matanya terpejam, juga tersenyum, seperti biasa. "Biar dia istirahat," bisik mereka.

Jakarta , 27 Februari 2006

Sebelumnya: Berbisik-bisik dengan Cinta 1