Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sebungkus Cinta Untuk Alenda

Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda

Nasi dan obat mag ini harus sampai kepada Alenda secepatnya, tekad Nadia. Bagi gadis PMI ini sebungkus nasi dan obat mag di dalam tas plastik hitam itu ibarat "sebungkus cinta sejati" yang harus sampai kepada Alenda Rosi seutuhnya. Dan, itulah janjinya kepada pemuda yang terkena mag akut dan sedang terbaring di salah satu ruangan di dalam Gedung MPR itu.

Tapi, bagaimana caranya, pikir Nadia. Gedung MPR sudah diblokade pasukan antihuru hara dengan pagar betis, truk-truk dan jeep militer. Bahkan, ada beberapa panser dan mobil anti huru hara yang dilengkapi 'meriam air' yang tampak begitu provoktif di mata gadis itu. "Ini benar-benar berlebihan. Mereka seperti menghadapi pemberontak saja," gumamnya.

Nadia sendiri terjebak di tengah aksi unjuk rasa tidak jauh dari Gedung MPR. Dan, keadaan benar-benar menjadi kacau ketika aparat keamanan berusaha keras membubarkan para pengunjuk rasa. Sambil merangsek ke arah para demonstran dengan tameng dan pentungan, aparat keamanan menyemprotkan air, gas air mata, dan desingan peluru-peluru karet ke arah mereka.

Konsentrasi para demonstran pun menjadi porak-poranda. Dan, sial bagi Nadia, ia tertabrak-tabrak para demonstran sampai terjengkang ke pinggir jalan raya, sehingga kantung plastik berisi nasi dan obat mag di tangannya terpental ke aspal. Sambil meringkuk di atas aspal, ia cepat-cepat melindungi kepalanya dengan kedua telapak tangannya dari injakan kaki-kaki yang berlarian kalang kabut.

Dalam ketakutan yang belum reda, tiba-tiba tendangan sepatu mendarat ke tubuh gadis itu. Ketika ia membuka wajahnya dan menengok ke belakang, seorang aparat keamanan sudah berdiri tegak di dekat punggungnya. "Ayo, bangun!" perintah sang aparat sambil melotot dan mengangkat pentungan.

Nadia cepat-cepat bangun dengan tubuh agak gemetar. Sang aparat segera menggantungkan pentungan di pinggangnya, dan memanfaatkan tangannya untuk mencengkeram lengan gadis itu. "Ikut saya!" katanya.

Nadia panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sepintas ia ingat sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam yang tadi dibawanya. Ia mencari-cari dengan matanya, dan menemukan kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya.

"Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!" kata Nadia pada aparat keamanan itu. Tapi sang aparat tidak peduli dan terus menyeretnya.

Dalam kepanikan, Nadia sempat melihat, seorang demonstran berjaket kuning kumal digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua anggota pasukan anti huru hara dan dipaksa masuk ke truk polisi. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, "Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat ini di lengan saya ada tanda palang merah!"

"Nggak bilang dari tadi! Brengsek!" anggota PHH itu melepaskan Nadia, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras.

Nadia sempoyongan akibat dorongan itu. Ia menabrak seorang aparat keamanan berpakaian hitam-hitam dan bertopi seperti cowboy , yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Gadis itu minta maaf sambil membungkuk-bungkuk. "Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka!"

"Kopral, biarkan dia pergi!" teriak seorang aparat yang berpakaian sama. Mungkin ia komandannya.

Aparat yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya. Nadia lantas berjalan tertatih-tatih. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo.

Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi menjadi barang langka bagi Nadia. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari sebuah kantin di stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, Nadia berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi dan obat mag tersebut.

Setelah berusaha keras, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton aparat keamanan bergerak cepat, dan dengan langkah-langkah bergedebum menggilas kantung plastik itu. '' Astaga! '' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya.

Selewat tragedi kecil itu, gadis yang di dadanya tertempel nama Nadia Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam tersebut. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkus dan kantung plastiknya sama sekali tidak robek. Begitu juga sekaplet obat magnya, masih utuh.

Sambil menenteng kantung plastik hitam itu, Nadia lantas berlari tertatih-tatih ke arah Gedung MPR. Tapi, sebuah barikade pagar betis berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.

Nadia merasa keder dan ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Alenda, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali memegang perut dan meringis kesakitan. Tidak hanya obat antimag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apa pun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. "Ya Tuhan, berilah kekuatan padanya," doanya dalam hati.

*

Sudah tiga hari Alenda Rosi menginap di Gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang dinilainya korup. Dan, karena bersemangatnya, ia lupa makan, sehingga penyakit magnya kambuh. Sialnya, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali memegang perutnya dan meringis-ringis kesakitan.

"Tenanglah, Alenda. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu," kata Nadia ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran, kekasihnya itu.

Ingat janji dan penderitaan pacarnya itu, semangat Nadia berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang anggota PHH dan minta agar diizinkan masuk ke komplek Gedung MPR. "Saya anggota PMI, Pak. Lihat ini tandanya! Ada kawan yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!" katanya.

Selanjutnya: Sebungkus Cinta Untuk Alenda 2