Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

''Siapapun tidak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini!'' jawab anggota PHH itu, tegas.

"Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk?" gadis itu merajuk lagi.

"Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak?" kali ini anggota PHH itu menodongkan pistol ke jidat Nadia. Ia tidak tahu, isi pistol itu peluru karet atau peluru beneran . Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran . "Kalaupun isi pistol itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini," pikirnya.

Nadia keder juga mengingat itu. Bagaimanapun, ia tidak ingin mati konyol terkena peluru aparat keamanan, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tidak lama kemudian muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke komplek gedung MPR. Ada kabar beredar, mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat itu.

Nadia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk. Dan, betul juga. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tidak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali dilemparkan. Meriam air pun tidak henti-henti ditembakkan ke arah para demonstran. Mereka kocar-kacir. Ada yang bertiarap. Ada yang mengambil langkah seribu. Ada yang terjungkal terkena peluru. Ada yang terkena pentung bertubi-tubi, lalu tergeletak ke aspal. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.

Nadia benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk ikut lolos ke dalam. Ia ikut merangsek barikade aparat keamanan. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang kompleks Gedung MPR, seorang anggota PHH menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling ke aspal dan kantung plastik hitamnya pun terpental lagi ke jalan raya. Kali ini nasibnya lebih sial, tubuhnya terinjak-injak puluhan kaki mahasiswa yang berlarian tidak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan hajaran meriam air.

Berkali-kali Nadia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia rasakan adalah ratusan sepatu bergantian menginjak-injak perut dan dadanya, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan kegelapan total memerangkap kesadarannya.

*

Nadia tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Hari sudah gelap dan suasana jalan di depan kompleks Gedung MPR pun sudah agak lengang. Ingatannya langsung terbawa pada sebungkus nasi dan obat mag di dalam kantung plastik hitam serta wajah cemas Alenda yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Dengan matanya ia pun mencari-cari kantung plastik hitam itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang onggokan kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin malam.

Saat itulah, tidak jauh dari sang gadis tersaji pemandangan yang cukup menakjubkan. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk komplek Gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu truk PHH juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.

Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi 'aktor politik' yang sangat penting, yang memiliki kekuatan subversif untuk meruntuhkan kekuasaan. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke kompleks Gedung MPR. Nadia membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan senapan otomatis, lemparan bom gas air mata, atau tembakan meriam air dari mobil PHH.

Dalam perasaan kecut, Nadia tetap mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya - yang basah kuyup - terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan selangkangannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara, dan kemaluannya memar karena tergencet sepatu juga.

Namun, gadis itu tidak putus asa begitu saja. Ia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Ia mencoba bangkit lagi, untuk duduk, tapi gagal lagi. Ia mencoba lagi, berkali-kali, tapi selalu gagal lagi. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu. Kemudian ia memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut tangannya menyentuh cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. 'Kemaluanku berdarah!' batinnya.

Nadia bergidik. Tiba-tiba ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana? Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan? Nadia menjadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan Gedung MPR dan seperti sampah dilempar begitu saja ke tepi jalan. Nadia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tanggul beton, ia menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di sisi beton pembatas jalan tol Gatot Subroto.

Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam kompleks Gedung MPR. Kompleks wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil masuk ke kompleks gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Alenda? Makin cemas saja ia mengingatnya.

Nadia mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Sepintas ia ingat kata-kata yang pernah diucapkan ayahnya, "Hidup ini keras, Nadia. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong dirimu sendiri."

Nadia percaya, kata-kata ayahnya itu benar. Tetapi, kalau dirinya sendiri dalam keadaan sekarat, tidak berdaya, dan hanya orang lain yang dapat menyelamatkannya, tentu ia tidak dapat menolong dirinya sendiri. Gadis itu sadar, tidak setiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasibnya, dan nasib Alenda, saat itu. Itu pula alasannya masuk PMI, agar setiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya.

Dalam ketidakberdayaan itu Nadia akhirnya mencoba untuk tidur, menunggu pagi. Ia berharap ada yang menemukannya sebelum pingsan dan segera membawanya ke rumah sakit. Itu pula harapannya untuk Alenda, aktifis yang sangat dicintainya. Dalam pejam, Nadia merasakan kesendirian dan kesunyian yang makin mencekam. Ia rasakan desir angin malam yang mengusap rambut dan pipinya. Ia rasakan semut-semut yang mulai merambati tangan, kaki, dan masuk ke celana panjangnya tanpa mampu ia usir. Mungkin beginilah kalau mati kelak, pikirnya. Sendiri, membusuk dalam kegelapan liang lahat, ditemani cacing-cacing tanah, semut-semut, jengkerik-jengkerik, kelabang-kelabang dan belatung-belatung, menunggu hari pehitungan. Nadia jadi ingat untuk berdoa, jika malam itu adalah malam terakhir hidupnya, Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya.

Dalam kepasrahannya itu tiba-tiba Nadia merasakan kakinya ditendang-tendang. Pelan-pelan ia membuka matanya: dua sosok lelaki tua dengan pakaian kuning-kuning, dan sapu lidi di tangan masing-masing, berdiri di dekat kakinya. Sebersit rasa syukur langsung bergetar dalam hatinya. Dua petugas kebersihan kota, yang memang mulai bekerja pada dini hari, menemukannya.

"Tolong saya, Pak," kata Nadia lirih sambil menggerakkan tangannya pelan. "Tubuh saya remuk.... Saya tak bisa berdiri...."

Kedua petugas kebersihan itu lantas mengangkat bahu Nadia sambil memegangi lengannya, membantunya untuk berdiri. Gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR, ke ruangan tempat Alenda terbaring sakit, sambil membawa tas plastik berisi sebungkus nasi dan obat mag yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada kekasihnya itu. Tapi, ia sangat kecewa, tidak ada lagi Alenda di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat spanduk dan poster-poster gerakan reformasi.

Nadia ingin sekali bertanya pada mereka ke mana Alenda dibawa dan dirawat. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkannya. Maka, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam yang telah menempuh perjalanan panjang, keras, dan berliku itu, akhirnya hanya tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!

Jakarta , Juni 2001/2004

Sebelumnya: Sebungkus Cinta Untuk Alenda 1