Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Datah Suling

Cerita Pendek Korrie Layun Rampan

Tak sulit menemukan rumah itu meskipun di dalam kegelapan malam. Rumah panggung yang indah dibangun memanjang dengan arsitektur tradisional, menggambarkan kuatnya tradisi seni nenek moyang. Dulu pernah Rufi jelaskan tentang rumahnya, di kampung yang jauh, di Datah Suling sebuah kampung yang nun berada di kawasan Ulu Riam.

Tak terbayangkan, bagaimana kampung yang dikatakan jauh itu. Pengalamanku tak ada dalam hal mengarungi sungai, apalagi ruam yang ganas. Kata Rufi untuk mencapai kampungnya di udikan sana harus menempuh tiga riam yang seperti demit sangat rakus mengambil nyawa.

"Bagaimana mungkin kau bisa sekolah ke kota, jika kau harus menempuh begitu banyak riam yang ganas?" aku berkata seperti anak yang tolol. "Kau menghilir sendiri atau kau diantar oleh ayahmu?"

"Tentu saja diantarkan. Tak mungkin aku mendayung sendiri di sungai lebar lagi panjang itu. Perjalanan yang biasa saja bisa memakan waktu dua tiga minggu, apalagi kalau musim sedang tak bersahabat. Bisa-bisa hanya menunggu di riam saja mencapai sebulan lebih."

"Sebulan hanya menunggu di riam?"

"Kenyataannya begitu. Tak ada orang yang berani menghulu atau menghilir riam jika air lagi ganas. Maut selalu menunggu di setiap ulak aliran air dan celah batu."

"Tapi kau selalu selamat tiba di Samarinda?" aku tertawa memandang wajahnya yang jelita. "Kau tak pernah karam di riam itu?"

"Tak kuingin karam, Ku. Jangan kauharapkan aku celaka."

"Tak aku harapkan yang buruk padamu, Fi. Aku hanya ingin tahu pengalamanmu mengarungi riam."

"Memang pernah aku hampir mampus, karena perahu tergepak batu. Ayah memaksa menghilir karena vakanisku sudah berakhir. Tak ada cara lain untuk mengejar sekolahku di kota. Kecuali mengikuti arus yang mengerikan jiwa!"

"Kau dan ayahmu karam?"

"Tak sempat karam. Sampan sempat menggepak batu. Dan akhirnya Ayah putuskan memegang akar kayu dan menyangkutkan tali sampan ke batu. Sampan tertahan di tepi. Akhirnya dua minggu kami hanya menunggu di tepi dinding berbatu yang tinggi. Air menggila datang dari hulu. Tak seorang pun penghilir atau penghulu yang mampu melewati riam yang demikian panjang dengan air yang ditumpahkan dan diaduk-aduk para dewa angkara murka."

"Tapi akhirnya kau lepas juga dari air neraka itu?"

"Kalau tak, tak mungkin bertemu Dongku," bibirnya yang tipis sangat manis dalam pandangan mataku. "Saat itu beras bekal sudah habis dan api harus terus-menerus diinyalakan karena korek lembab semua. Hujan terus turun membuat udara dingin luar biasa. Sementara kayu amat susah didapatkan, karena tempat perahu ditambatkan hanya tersedia beberapa meter di seberang menyeberang sungai."

"Ayahmu tak menggunakan pematik api?"

"Udara lembab membuat penyala apinya basah. Bunga apinya tak mau menyambar penyala api. Sampai habis batu pematik karena digerusi besi, apinya tak dapat-dapat."

Sukar aku bayangkan cerita Rufi. Tak masuk akal gadis semanis bintang film harus mengalami kesulitan berjuang mempertahankan nyawa untuk mendapatkan selembar kertas ijazah. Namun, di lain bayangan, kalau tak begitu, tak ia jumpa dengan aku. Tak mungkin aku menikmati perasaan indah yang membuat aku merasa kaut berjuang demi masa depanku bersama gadis cantik Ulu Riam yang bernama Rufi.

Rufisari Ding Liah, sebenarnya, nama lengkapnya.

"Untungnya ikan mudah didapat," sambung Rufi dengan ceritanya yang memesona karena menyambung nyawa. "Mudah sekali dapatkan ikan dengan memancing. Tapi air? Harus digodok lama-lama agar tak kena kolera."

"Di riam juga banyak ikan?" suara tanyaku seperti pertanyaan anak SD.

"Tak di riam tak di sungai atau danau. Sebelum ada peracunan dan penyetruman, ikan di sungai dan danau sangat banyak. Tapi kini, semuanya tinggal kenangan, Ku."

"Tinggal kenangan?"

"Ya. Tak mungkin mancing seperti dulu. Bahkan pukat atau bubu yang bisa menjaring ikan akan sia-sia dipasang, karena ikannya habis mati diracuni dan diestrum dengan accu ."

"Pengalamanmu banyak dan di antaranya banyak yang menyambung nyawa. Kawasan tempat tinggalmu begitu susah. Lalu, apa rencamu di masa datang?"

"Kembali ke kampungku jika aku lulus sekolah. Membangun rumah di kampung kebanggaan nenek moyang. Membangun kesehatan masyarakat."

"Suamimu? Mau ia kau boyong ke kampung yang jalan menujunya begitu susah?"

"Kau suamiku, Ku. Kau telah katakan kau mau ikut aku kembali ke Datah Suling setelah kita menikah?"

Aku seperti tersedak kenangan percakapan lama. Tiga tahun yang lalu percakapan itu terjadi, saat aku akan berangkat ke Jakarta karna mendapat tugas baru di jajaran redaksi, dan Rufi menyiapkan dirinya sebagai perawat yang akan bertugas di Long Pahangai. Ia segera akan merampungkan pendidikan keperawatan di Samarinda, dan karena terikat beasiswa, ia harus kembali ke kampung asal, menyelesaikan ikatan dinas, dan baru boleh sekolah lagi, atau pindah bekerja di tempat lain, jika ia menginginkan.

Rasanya baru kemarin aku berpisah dengan Rufi. Serasa masih terbayang di dalam bola mataku saat ia memeluk dengan tarian gong di tengah upacara pembukaan Erau yang diadakan di Tenggarong. Dari situlah aku mengenal gadis itu, karena sebagai koresponden Koran Jakarta, aku lakukan wawancara dengan gadis penari. Selebihnya, setelah selesai wawancara, aku selalu datang ke asrama tempat ia mondok, dan dari situ terjalin hubungan yang lebih dari responden dengan pewawancara. Bahkan, aku berjanji, jika nanti aku sudah bisa ambil cuti, dan pulang dari Jakarta, aku akan datang melamarnya di kampungnya di Datah Suling.

Akan tetapi selama tiga tahun ini tak pernah aku datang. Bukan karena tak ada cuti yang bisa diambil, tapi karena surat-suratku tak pernah satu pun yang dibalas Rufi, setelah suratnya yang terakhir menyatakan bahwa ia telah pulang ke Datah Suling karena segera bertugas di Long Pahangai.

Aku menjadi gamang sendiri. Adakah ia telah menemukan lelaki lain di kampung halamannya? Kalau aku langsung datang ke sana , apakah tidak akan membuat persoalan, kalau ia sudah bersuami? Tentu suaminya akan cemburu, dan aku harus menanggung risiko yang berat oleh sanksi adat. Kutahu puak yang melahirkan Rufi adalah suku yang dahulu menganggap diri mereka pahlawan karena begitu berani dan mahir bertarung di dalam perang menganyau. Apakah aku akan tinggal nama karena terpenggal leher oleh keluarganya yang merasa terhina, karena ada lelaki lain yang datang tanpa diundang? Tentu mereka akan membela sang suami demi solidaritas, sopan santun adat, martabat, dan gengsi sebuah puak?

Selanjutnya: Datah Suling 2