Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Akan tetapi sudah bersuamikah Rufi?

Kalau belum? Kalau ada suatu yang terjadi? Kalau ia hanya malas membalas surat-suratku? Tak ada waktu? Atau tak bisa mengeposkan surat itu dari Datah Suling? Dari Long Pahangai?

Rasanya tidak mungkin. Bukankah Long Pahangai merupakan ibu kota kecamatan. Ada camat, ada petugas lainnya, dan mungkin juga ada kantor pos. Kalau tidak, camat atau aparat kecamatan pasti akan berurusan ke ibu kota kabupaten, atau ke provinsi, bukankah Rufi dapat menitipkan surat lewat petugas itu untuk diposkan di Tenggarong atau Samarinda?

Tapi aku tak pernah tahu persis kondisi Long Pahangai atau Datah Sulung. Apakah Long Pahangai itu sebuah kota ? Sebuah kampung? Seberapa lengkap sarana yang ada yang dimiliki kecamatan? Memang adakah kantor pos di situ? Mengingat letaknya yang nun berada di Ulu Riam, tentu sarana di sana amat terbatas, karena transportasi yang ada hanya melewati jalur jalan air. Jika pun ada kantor pos, apa peralatan angkutan untuk membawa surat-surat itu ke kota ? Apakah kantor pos itu memiliki speed-boat atau long-boat sendiri?

Aku telah tiba di rumah Rufi.

Gelap malam dibiasi cahaya bulan yang agak benderang jika telaunnya langsung jatuh ke tanah. Pada bagian rimbunan pohon tinggi dan rumpun pisang, cahaya bulan itu menciptakan bayang-bayang yang melegam, seakan-akan ada tarian para peri yang penuh kerahasiaan memusar ke dalam bumi. Suasana yang senyap membayangkan suatu wilayah yang terasing dan terisolasi dari dunia luar. Seakan-akan kampung tercapak di ujung dunia, dan Rufi adalah gadis alam yang berkutat dengan penjara hutan rimba.

Kuucapkan salam. Hanya senyap membayang di seluruh ruang rumah. Suaraku seperti membentur gua labirin yang seram. Kuseru lagi berkali-kali. Lama aku menanti sampai akhirnya kudengar ada gegas langkah menyongsong ke arah pintu.

Kuulurkan tangan untuk memberi salam. "Benarkah ini rumah Rufi?"

Orang yang menyongsongku itu meneliti wajahku. "Kalau Rufisari Ding Liah, benar. Saudara ini ada keperluan apa malam-malam bgini?"

"Ingin bertemu dengan Rufi."

"Tapi ia tak mau ditemui lelaki siapa pun. Kecuali...."

"Kecuali siapa?"

"Kecuali Dongku Laiq Puti."

"Ia sudah bersuami? Mengapa tak mau ditemui lelaki?"

"Belum. Karena hanya Dongku Laiq Puti yang pernah berjanji akan datang kemari. Tapi itu sudah tiga tahun yang lalu, sampai...."

"Sampai apa?"

"Sampai riam membuat bencana!"

"Bencana?"

"Ya. Sampai kedua kaki Rufi harus diamputasi. Karena riam."

"Kalau begitu, izinkan aku menemuinya. Akulah Dongku Laiq Puti."

"Ya. Aku pernah berjanji dengan Rufi tiga tahun yang lalu, sebelum aku dimutasi dari Samarinda. Aku akan datang melamarnya. Tapi surat-suratku tak pernah berbalas. Apakah Rufi pernah menerimanya?"

Lelaki itu tampak mengerutkan keningnya. Dalam tamaran cahaya pelita, wajahnya begitu lusuh dengan rambut yang hampir seluruhnya berwarna kelabu. Warga lain yang rupanya akan segera pergi tidur, merubung ke tengah rumah. Mereka bergalau dengan kata-kata dan suara yang tak aku mengerti.

"Aku ayah Rufi," lelaki tua itu menarik tanganku membawa ke sebuah kamar di arah tengah. Rufi ada di dalam...."

Dalam tamaran cahaya pelita aku terpana melihat wajah kekasihku. Sama dengan kejelitaan wajah tiga tahun yang lalu, namun lebih tirus, mungkin karena derita.

Di depan ayahnya aku peluk ia penuh gairah, seperti dahulu aku peluk ia ketika harus berpisah di Lapangan Udara Sepinggan di Balikpapan. Ia nekat mengantarku bersama temannya Bulan Lung Uray, rekan seangkatannya di sekolah perawat.

"Aku hanya berkaki palsu, Ku. Riam mengambil kedua kakiku saat bertugas mengantar pasien yang harus dioperasi di Samarinda. Riam yang kukisahkan dulu padamu, agak ke hilir tempat aku dan Ayah pernah menanti ganasnya air selama dua minggu," suaranya terdengar sayu.

Tenggorokanku terasa kering.

"Lama aku penasaran mengapa surat-suratku tak kau balas, selepas aku katakan pulang ke Long Pahangai. Tapi setelah petaka datang padaku dan nahas lain menimpa seorang pengusaha kayu. Lirung Apuy Suling, yang kupercaya mengepos dan mengambil surat-suratku tewas tergencet kayu gelondong di riam tempat aku terbencana, rupanya baru diketahui surat-suratku dan suratmu selalu didekapnya. Suratku tak diposkannya dan suratmu disimpannya, tak disampaikannya kepadaku."

"Untuk apa?"

"Ia pernah melamarku. Tapi kukatakan aku sedang menanti Dongku Laiq Puti."

"Tapi mengapa kaupercaya ia mengambil dan mengepos surat-suratmu?"

"Ia itu masih saudara sepupuku dari Ibu. Tak mungkin aku terima lamarannya karena ia sudah punya istri. Lagi pula aku hanya mencintai Dongku."

"Mencintai aku?"

"Ya"

"Itulah aku datang ke sini. Aku ingin melamar kau jadi istriku."

"Tiga tahun lalu aku sudah terima lamaranmu. Tapi kini kakiku sudah diamputasi. Bukan kedua betis yang kaupuji dulu saat kita jalan-jalan di kompleks pertokoan Citra Niaga Samarinda. Kakiku sudah tak ada keindahannya lagi karena berupa sambungan untuk menyambung hidup."

"Aku tak melamar kaki, aku melamar Rufi Ding Liah. Bagiku kau yang dulu adalah kau yang kini. Tak ada perubahan."

Kulihat wajah Rufi tampak sayu. Cahaya pelita yang agak redup menambah kesayupan itu menjadi mendung yang murung.

"Ingin aku kau dulu datang lebih cepat. Tapi Lirung membuat semuanya jadi bencana. Mungkin kakiku tak begini jika surat-surat kita tak ditahannya, karena ia menginginkan aku."

"Tapi itu sudah lalu, Fi. Kini aku sudah datang. Kita rencanakan masa depan."

"Aku kasihan kau, Ku. Bagaimana mungkin kau bawa aku ke Jakarta dengan kakiku hanya rangka? Maluku melebihi malumu."

"Tak aku malu, Fi. Tak."

"Itu katamu kini. Kalau kau sudah disusahkan aku dengan kursi roda dan segala kebutuhan hidup, kau akan menyesal, Ku."

"Menyesal...? Menyesal itu ulah orang tak berprinsip, Fi. Sesal harus diucapkan di depan, jangan di belakang."

"Tapi kau akan menderita, Ku."

"Lebih menderita jika kau tolak aku. Lebih menderita jika aku tak bersamamu, Fi."

"Itu karena Dongku sedang bersamaku disini. Kalau jauh...?

"Tidak, Fi. Tak akan begitu."

Udara malam terasa isis. Kawasan pehuluan ini memang berudara bersih, jauh dari polusi. Terang cahaya bulan di luar seperti mengantarkan angin yang membawa berkah.

"Jika dulu kau datang lebih cepat, kau dapat lihat orang-orang ambisius merebut keuntungan dan menimbun harta untuk diri pribadi dari uang negara. Tapi kesehatan dan pendidikan tertinggalkan. Sampai aku hampir mampus, karena Puskesmas tidak memiliki peralatan yang memadai. Aku harus bertarung dengan segala kekurangan dan kesusahan untuk mentahirkan orang-orang sakit. Sebenarnya yang lebih parah adalah penyakit mental, Ku."

"Tapi aku hanya ingin kau, Fi. Bagiku hal lain, biarlah mereka yang mengurusnya. Aku hanya ingin mengurus Rufi."

"Itu tak mungkin, Ku. Aku rasanya tak mungkin ke luar dari sini. Meskipun kakiku diamputasi, aku masih dibutuhkan orang-orang sakit. Mereka dapat datang kemari jika demam atau terkena flu. Mereka dapat datang ke sini jika terluka kena beliung dan sakit encok. Mereka akan datang ke sini jika anak-anak cacingan atau balita kekurangan gizi."

"Tapi di sini ada dokter dan perawat yang menggantikanmu, Fi. Lebih penting bagiku kau pelihara kesehatanmu sendiri. Di Jakarta kita bisa buat kaki yang bagus dan memenuhi syarat kesehatan, sebagaimana kakimu dulu. Bahkan, kalau kau mau, kita bisa bikin kakimu di Singapura."

"Terima kasih, Ku. Aku sudah merasa hidup, karena aku dibutuhkan di sini. Yang kusedihkan, pasienku yang harus dioperasi justru mati tenggelam bersama enam orang keluarganya yang mengantar. Tujuh dengan tenaga medik lelaki yang ikut bersama kami. Long-boat yang membawa kami membentur batu sebesar gajah dan membuat lunas pecah di ulak yang ganas. Jika hanya aku yang selamat, itu benar-benar suatu keajaiban.

"Keajaiban itulah yang membuat Rufi harus ikut aku ke Jakarta. Kita bangunkan kehidupan baru di sana. Kau bisa lakukan praktik di rumah, seperti beberapa istri temanku yang juga perawat. Di Jakarta banyak sekali pasien, karena di sana ada lebih dari tiga belas juta manusia."

"Senang sekali aku kau datang, Ku. Senang sekali aku tahu kau tetap mencintaiku. Tapi dulu kau katakana akan ikut aku ke Datah Suling. Mengapa aku harus ikut ke Jakarta?"

"Sementara ini kita hidup di Jakarta. Kalau sudah ada modal, kita akan kembali ke sini, Fi. Kau bisa buka klinik dan toko obat. Kau bisa terus bekerja memperbaiki gizi dan dan membangun kesehatan masyarakat."

"Indah sekali mendengarnya, Ku. Tapi yang tak indah adalah kesusahan yang akan kau tanggung, Ku. Aku akan sangat menyusahkanmu."

"Kita dapat gaji perawat. Tak apa perawat dirawat perawat, Fi."

Kulihat wajah Rufi makin murung. Keindahan hutan, sungai, danau, laut dan riam yang luar biasa dilihat dalam gambar dan film, ternyata mampu membawa bencana. Bahkan aku sempat memotret keindahan pancuran air yang datang dari celah batu di riam yang mencelakakan Rufi, tak terpikirkan bahwa dataran air yang indah namun ganas itu telah mengambil kaki kekasihku. Karena tergepak dan terhempas ke batu dan tertindih lunas berikut kampar kayu, kedua kaki Rufi patah. Yang tersisa ujung kedua pahanya yang kadang kalau diinginkan bisa disambung dengan kedua kaki palsu.

Memang menyakitkan segala yang palsu. Bukankah kepalsuan adalah tumbal dari keaslian? Tapi Rufi? Tak ia inginkan kepalsuan, hanya tekad nasib membawanya untuk mengorbankan dirinya demi kesehatan dan kesembuhan orang lain. Suatu yang mulia tiba-tiba berubah menjadi marabencana!

"Tak apa memang, Ku. Tapi aku kadang berjanji pada diriku sendiri. Aku akan terus berjuang untuk warga di sini. Inginku segera ada jalan ke kabupaten agar pasien tidak lagi harus mati di riam sebelum mencapai rumah sakit. Inginku segera ada Puskesmas yang lengkap peralatan mediknya. Inginku diperbanyak tenaga kesehatan. Biarlah aku jadi lilin yang habis membakar dirinya sendiri, Ku."

Tak terasa jika percakapan kami menemukan fajar pagi. Selama tiga hari aku membujuk kekasihku, namun jawabannya selalu sama.

"Sudah aku korbankan kesenangan dan keinginan pribadi, Ku. Tak lagi aku bisa meliuk di atas lantai tarian karena kakiku diamputasi. Bukankah kau ingat, kita sampai bertemu dan berkenalan karena aku sebagai penari? Setelah diamputasi, tak mungkin aku mampu berdiri. Tapi aku masih bisa hidup karena aku dapat menyalurkan keahlianku untuk mengobati orang sakit. Itu suatu anugerah."

"Tapi bagiku, kau utuh seluruh, Fi."

"Kau berilusi, Ku. Kau hanya jangan hidup dalam imajinasi. Kau harus hidup di dalam kenyataan."

"Aku sudah bertemu dengan kenyataan, Fi. Kita menikah. Kau bisa tetap di sini. Aku sementara tinggal dan bekerja di Jakarta. Kita bisa buat rencana kemudian setelah kita pikirkan apa yang kita kerjakan selanjutnya."

"Tak mungkin, Ku. Kita tak bisa menipu diri sendiri. Apa yang bisa kau kerjakan di sini? Menerbitkan Koran?"

"Aku bisa menulis buku, Fi."

"Itu juga ilusi. Kau kirim ke mana naskah-naskahmu? Dengan peralatan apa? Komunikasi ke luar tertutup di kampung ini!"

"Setahun empat kali aku ke kota kirimkan naskah, Fi. Yang penting kita menikah."

"Tidak, Ku. Kasihan kau akan menderita. Tempatmu bukan di sini, tempatmu di kota di dalam pekerjaanmu sebagai wartawan. Tak mungkin seseorang yang biasa melanglang buana ke mancanegara kok dipenjara di dalam hutan riam?"

Hampir habis argumentasiku untuk mengajaknya menikah. Hampir habis akalku untuk mengajaknya ke Jakarta . Hampir habis kata-kata dan kalimatku untuk meraih cintanya yang dahulu, meskipun katanya cintanya padaku tambah menggebu. Cintanya itulah yang membuatnya mampu terus hidup, meskipun kedua kakinya sebenarnya dapat segera membuat ia mati.

"Jadi kita bisa menikah?" kutatap bola matanya pada hari ketiga.

"Tidak, Ku. Aku mencintaimu, tapi aku tak mampu menipu diriku sendiri. Kau memerlukan wanita yang sehat dan sempurna, bukan aku yang kehilangan dua kaki."

"Tapi ku inginkan kau, Fi. Kau seluruhnya. Kau yang kini tanpa kaki."

"Tidak, Ku. Kau membutuhkan seorang wanita yang utuh."

"Tapi bagiku kau utuh, Fi."

"Kau mendustai dirimu sendiri, Ku."

"Cinta mengatasi segalanya, Fi."

"Cinta saja tidak cukup, Ku. Cinta memerlukan bahagia."

"Aku akan berbahagia bersamamu. Kita berdua akan selalu berbahagia, Fi."

"Tidak, Ku. Kau temukan aku karena kakiku utuh menari. Kini kau temukan aku sudah kehilangan kaki. Jadi, tak mungkin kau merasa cintamu utuh karena aku bukan lagi Rufisari Ding Liah yang dahulu. Aku kini wanita perawat yang hanya berjalan dengan tekad dan semangat."

"Jadi?" suaraku hampir parau karena kekuarangan tidur dan terlalu penuh pikiran. "Kau inginkan apa aku?"

"Pulanglah ke Jakarta. Kenanglah aku di dalam doa-doamu. Senantiasa aku menyebut namamu di dalam doa-doaku. Kita saling mencintai, tapi kita harus saling berpisah, Ku."

"Mencintai tapi berpisah...? Jadi...?"

Hampir tak kusadari bahwa di depanku sebuah lukisan riam yang kuminta kawanku, Ipe-- pelukis ternama -- melukiskannya secara istimewa di mana kekasihku tampak lumpuh kehilangan dua kaki di tepi air yang ganas di antara batu-batu sebesar gajah dan kerbau liar di hutan liar. Hanya matanya tampak bercahaya, lebih dari sorotan matahari di titik kulminasi. Di lukisan itu, mataku hampir seluruhnya selalu tertuju ke situ.

Surat-surat Rufi dari Datah Suling, selalu kuterima dan menguatkan aku akan masa depan yang mungkin kami bina masing-masing. Meskipun tanpa kaki, Rufisari Ding Liah terus dijunjung tinggi, begitu sangat berharga bagai mutiara dan intan permata bagi kampung halamannya.

Lalu aku...? Dalam mataku riam nasib yang terjal terus menderu!

Banjarmasin , 29 Januari 2003

Sebelumnya: Datah Suling 1