Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kuambil sebuah buku kumpulan puisi yang selalu kusimpan dalam ransel. Kusibak halaman demi halamannya secara acak.

Bila hujan kembali turun siang ini, siapkan mantel sebelum kau berangkat untuk kemudian melupakan rumah ini. Simpanlah di dalam tubuhmu dan kenanglah aku yang mengingatkanmu.

Aku termangu. Hujan masih berdenting di luar sana . Sesekali tempiasnya singgah di kulit tangan dan pelipis, tapi tak sampai ke dalam hati. Jalanan basah. Daun-daun kuyup. Genangan lumpur di tepi jalan. Batang pohon dan tiang listrik menggigil kedinginan. Roda-roda kendaraan menyibak gerimis. Meninggalkan desis panjang dan lirih.

Nothing special for me in December. Masih tersimpan pesan singkat itu dalam ponselku. Esi mengirimnya beberapa hari lalu waktu kutanya pendapatnya tentang hujan yang turun nyaris setiap senja di bulan Desember. Aku tersenyum kecut mengingat kalimat itu. Tidakkah ia rasakan Desember begitu cepat datang dan berlalu? Tidakkah rintik hujan sampai di hatinya serupa nyanyian pilu?

Baru beberapa detik kugenggam teh botol ketika tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Aku menghela napas. Esi, Esi. Teknologi memang telah mengubah segalanya. Meski baru beberapa kali bertemu, pesan-pesan singkat cukup membuat kami merasa dekat. Esi mengabarkan bahwa ia masih terperangkap di ruang kantornya. Menyelesaikan pekerjaan sambil menunggu hujan reda. Dia pasti sedang jenuh dengan rutinitas.

"Aku ingin main atau kumpul lagi dengan teman-teman. Seperti dulu. Ternyata nggak enak ya kalo sendirian," keluh Esi dalam pesan berikutnya. Setelah berfikir sejenak, iseng-iseng kusuruh dia menyisihkan waktu untuk mematung di tepi jendela. Menekuri cuaca yang sedang berkabung itu. Dia bisa leluasa membongkar-bongkar kenangan silam. Tentang apa saja. Mungkin tentang masa lalu yang makin menjauh, tentang lelaki-lelaki yang ia cintai namun tak bisa ia miliki, atau tentang jejaknya yang tertinggal di kota-kota yang pernah ia singgahi. Sayang, aku lupa bahwa lain padang lain belalang. Esi bukan tipe wanita yang betah mengukur jarak sepi. "Justru itu aku selalu mencari kesibukan biar nggak merasa kesepian dan jenuh. Main biliar, berjam-jam di warnet, menelepon teman lama, atau makan mie khodon dekat Taman Dipangga. Ya, begitulah hidup. Berbagai masalah harus dihadapi dan kita mesti cari solusi yang terbaik," begitu pesan terakhirnya sebelum baterai ponselku habis.

Gerimis dan kesepian datang membawa notasi-notasi kenangan. Aku jadi tak punya nyali untuk bercerita lebih banyak pada Esi tentang malam-malam larut, hening yang maut, dan cinta yang ngelangut . Meski ada yang mekar diam-diam di tanah basah ini, aku percaya tak semua tanya butuh jawaban. Realisasi perjalanan sebuah doa kadang tak bisa dipahami dengan akal sehat atau logika. Sebagaimana yang kukatakan, Esi pun sepakat kota ini sudah terlalu riuh dan pelik untuk dipahami. Maka biarlah semua mengalir bersama guguran angka-angka di kalender. Biarlah orang-orang datang dan pergi dari kehidupan kita. Bukankah itu hal yang biasa?

***

Di Kota Tapis, gerimis turun begitu liris. Mungkin di suatu tempat, seseorang tengah merangkai puisi romantis. Benarlah kata Si Binatang Jalang itu, bahwa gerimis mempercepat kelam. Aku berteduh di sebuah cafe ditemani segelas kopi panas. Uapnya mengepul lalu raib dalam udara. Kusapa seorang pelayan lelaki. Kusodorkan sebuah kaset kepadanya dan minta diputarkan sebuah tembang. Mungkin, mimik pelayan itu mirip mimik pegawai salon tempat Esi minta potongan rambutnya di kumpulkan. Seperti baru saja di tampar setan. Ah, mungkin dia belum sadar bahwa menganggap remeh hal-hal yang sepele adalah kesalahan besar.

Begitulah. Selang beberapa menit kemudian terdengar "A Long December" mengalun, membakar hawa dingin. Dalam cuaca begini muram, tak ada hal menarik yang ingin kulakukan selain mengingat. Bukankah masa lalu dan kenangan adalah bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan kini dan nanti?

Usai gerimis, kota ini akan kembali riuh. Aku ingin menyusuri ruas-ruas jalannya. Menyaksikan hal-hal sepele seperti jalanan basah, kaca berembun, sepasang kakek nenek duduk di kursi goyang sembari menghitung angka-angka di kalender, penjual terompet yang berjejer sepanjang jalan, jingkat langkah orang-orang menghindari genangan air, atau perempuan berpayung pelangi.

Dan, mungkin, ketika gerimis itu benar-benar usai, akan kusambangi sebuah pintu yang sudah lama tertutup rapat. Pintu yang meneteskan air mata sejak kutinggalkan. Apa kabarnya perempuan dalam rumah itu? Apakah dia baik-baik saja setelah bercerai dengan suaminya? Entahlah. Namun, sungguh, gerimis ini menghasut kenangan. Tiba-tiba aku ingin berada didekatnya kembali. Mengenang gerimis-gerimis silam. Lalu kubayangkan apa yang akan kami perbuat di ujung percakapan. Mungkin dia akan menutup pintu dan jendela lalu memadamkan semua lampu. Mungkin akan kumatikan ponsel agar tak ada yang mengganggu; teman, kenalan, atau Esi sekalipun. Mungkin.

***

Bandar Lampung, Des 04-Jan 05

* Kado yang terlambat untuk Esi Aquarisia.

* Diambil dari bait puisi "Bila Hujan Kembali Turun" karya Isbedy Stiawan ZS (Kumpulan Puisi Menampar Angin, 2003).

Sebelumnya: Gerimis Menghasut Kenangan 1