Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Ibu Memandang Gunung

Cerita Pendek Adek Alwi

IBU memandang gunung dari beranda. Di mata beliau gunung dan juga bukit mendekat dan mendekat, lalu merunduk. Lengkap dengan pohonan, daun, serta batu-batunya. "Lihat, lihat!" seru ibu. "Bahkan gunung tidak kuat menahan getar rinduku!"

Adik-adik tercengang, saling pandang. Adik-adik merasa iba sekaligus cemas. Tapi ayah tidak menoleh. Cuma mendengus. Bagi ayah rindu justru sesuatu yang suka ngelunjak tak ubahnya penjajah, yang dulu ia perangi habis-habisan di masa revolusi. Diberi kaki minta paha, diberi paha mau hati. Lantas mengebat, mendikte, menguasai. "Padahal, orang harus bebas!" ujar ayah. "Siap sendiri, kapan saja di mana saja. Sebab lahir dan mati juga sendiri-sendiri!"

Terdengar gagah, dingin, dan kukuh. Tapi sebetulnya tidak. Itu cuma semacam keangkuhan, atau kepura-puraan lelaki belaka. Sebutlah masih bagian dari superioritas laki-laki, yang selama ini ditonjol-tonjolkan

Nyatanya, di hari keberangkatanku dan sebelumnya saudara-saudaraku, justru ayah yang banyak petuah. Sementara ibu hanya menatap, seakan memetakan wajah-wajah kami lekat-lekat dalam benak. Sekaligus menyalakan suluh pada jalan pulang, supaya anak-anaknya tetap ingat dan tidak tersesat. Dan dalam petuahnya antara lain disebut-sebut ayah harapan untuk mendapat surat . "Lebih afdol lagi bila dalam tempo-tempo tak terlalu lama, kalian sendiri yang datang berkunjung," tambah beliau, meski tidak diucapkan dengan mata berkaca-kaca atau suara terbata, melainkan tetap dengan rahang yang kukuh. Serta mata yang menatap lurus.

"Mengapa begitu, Yah?" adikku terkecil bertanya.

"Karena itu yang tersisa bagi orang tua," sahut ayah. "Berita. Lebih-lebih rupa, dan suara. Lainnya tentu lenyap. Milik kalian, seiring usia."

"Aku tak mengerti, Yah."

"Kau terlalu kecil untuk mengerti," kata ayah.

Adik terkecil tak berkata lagi. Mungkin benar waktu itu dia masih terlalu kecil buat mengerti. Tapi aku paham. Malah juga getar suara ayah, helaan napas, serta sorot matanya, aku pahami.

Karena itu, sewaktu ibu menatap gunung dan gunung di mata beliau mendekat lalu merunduk seperti hendak sujud, ayah sebenarnya pura-pura tidak peduli. Dapat dipastikan diam-diam ia pun menatap gunung, entah kapan dan di mana. Dan saat ibu berucap "bahkan gunung pun tidak kuat menahan rinduku" dengan mata gabak (lalu turun menjadi hujan, juga mengalir jadi sungai), ayah hanya berlagak saja mendengus. Hati beliau sebenarnya kuyup bergetar, bisa jadi bak gambaran sajak penyair Prancis itu: air mata dalam kalbuku, bagai hujan di atas kota .

Anehnya, menurut adikku terkecil, ibu pun bagai tidak tahu. Atau beliau pura-pura tidak tahu, lantaran berniat menohok keangkuhan atau kepura-puraan lelaki yang ditunjukkan ayah. "Memang," kata ibu kemudian menyindir. "Dalam petuah lama itu ayah juga tidak disebut-sebut. Hanya: kasih anak sejangkauan, sayang ibu sepanjang jalan."

Ayah ketawa sumbang, tak kuasa terbahak. "Bukan di situ soalnya," ia bilang.

"Lalu, di mana?" ibu menantang.

"Kupikir...."

"Ini masalah rasa," sergah ibu tangkas. "Tidak terselami oleh pikiran."

"Ya, ya." Ayah akhirnya manggut-manggut, tapi tampak goyah. "Kurasa... ya, lantaran selalu dituruti, tanpa sadar bahayanya," dia bilang. "Padahal, rindu adalah air laut, makin dahaga kalau diminum. Tidak. Rindu adalah penjajah. Orang akan dikebat dan didiktenya bila terus dituruti!"

"Itu hitungan akal," jawab ibu. "Sudah kubilang, pikiran tidak akan sampai ke sana . Tidak mampu menyelesaikan."

"Dan perasaan?"

"Perasaan adalah naluri," kata ibu. "Pada makhluk tidak berakal sekalipun ada naluri. Namun naluri paling dahsyat, mulia sekaligus nikmat, walau kadang mendera, hanya bersemayam di hati seorang ibu. Lain pihak, tidak. Kecil saja, sekadarnya saja. Cukup asal memiliki."

Ayah mendengus lagi. Lalu diam memandang halaman. Ibu sendiri tampaknya sudah puas, tidak lagi bicara, serta kembali memandang gunung. Dan menurut adikku, sejak itu kedua orang tua kami sering terlihat saling diam, meski sama-sama duduk di beranda. Dan terkadang malahan berdampingan.

Masing-masing seolah sibuk sendiri. Ibu dengan mata tidak lepas memandang gunung; ayah baca koran, buku, atau majalah. Herannya, walaupun mata ibu terlihat gabak, tapi ketika berdua-dua begitu tak terdengar lagi beliau berucap: "Lihat, bahkan gunung pun tak kuat menahan rinduku". Dan ayah pun, yang sedang membaca, seperti tidak beranjak matanya dari satu halaman ke halaman lain, bahkan dari satu kata ke kata lain.

Selanjutnya: Ibu Memandang Gunung 2