Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Keduanya bukan hanya seperti melamun, akan tetapi juga seolah-olah tengah menyelesaikan sesuatu yang amat berat, dan berkecamuk dalam diri masing-masing," kata adikku.

Konon, berhari-hari berpekan-pekan berbulan-bulan bahkan bertahun ayah dan ibu seperti itu. Sampai uban di kepala mereka tambah banyak, dan adikku terkecil itu tumbuh remaja, serta tinggal dia satu-satunya dari sepuluh saudaraku yang menemani ayah dan ibu. Sedang kami semua saudaranya sudah merantau, bertebaran di berbagai pelosok negeri dan dunia. Berkeluarga, dan juga beranak pinak di rantau, hingga jalan pulang tinggal samar-samar saja dalam ingatan, tak ubahnya kelap-kelip dian di gelap malam.

Lalu pada suatu hari, dengan mata tidak juga lepas dari gunung dan bukit yang menghijau di selatan kota kami, terdengar ibu menarik napas. Lantas berucap lambat-lambat, bak menanam sesuatu dalam diri: "Rindu adalah air laut. Tidak. Bukan. Rindu tidak ubahnya penjajah...."

"Itu tak benar!" ayah seketika menyanggah, seakan telah menyiapkan jawaban itu sejak lama.

"Tidak benar?" Ibu menoleh padanya, untuk pertama kali setelah sekian lama.

"Tidak benar!" Ayah menggeleng. "Itu berlebih-lebihan. Terlalu dibuat-buat!"

"Siapa melebih-lebihkan? Siapa yang membuat-buat?"

"Aku."

"Ah." Ibu mengeluh. Menarik napas. "Lantas, apa ini namanya yang mengebat dan tiap waktu menderaku?" tanya beliau.

"Ia memang mengebat, mungkin juga mendera, tapi tak menjajah," sahut ayah. "Ini takdir para orang tua. Siapapun, di manapun, dan kapanpun. Inilah takdir kita."

"Kita?" Ibu kembali menatap ayah dengan mata tak berkedip.

"Ya, kita!" balas ayah seolah hendak meledak. "Mengapa selama ini berpikir, hanya semata-mata ibu yang menanggung? Amat tidak adil. Petuah lama itu mestinya berbunyi: rindu anak setikungan, rindu orang tua sepanjang jalan. Dan orang tua itu adalah ayah, beserta ibu."

"Ibu beserta ayah," bilang ibu.

"Sama saja," balas ayah. "Ibu beserta ayah juga boleh!"

Perlahan-lahan ibu tersenyum, untuk pertama kalinya pula setelah sekian lama. Sejak mereka biasa duduk berdua saling diam.

Kemudian gerimis turun di kota kami, juga kabut, sehingga segalanya berubah menjadi putih. Sebetulnya bukan suatu yang luar biasa bagi kota kami. Tapi kini jadi peristiwa luar biasa. Bukit dan gunung tidak lagi kelihatan, lenyap di balik kabut serta gerimis, yang menderai bagai jarum-jarum halus. Begitu juga rumah, gedung, kantor, pohon, daun, semua putih. Ayah dan ibu membisu di beranda, duduk berdampingan, menyimak cuaca dengan seksama. Wajah mereka sendu. Pun mata dua orang tua itu, terlihat sayu. Lalu angin bertiup dan matahari mencorong pula. Alam seakan asyik bermain warna-warna. Kini rumah-rumah tampak lagi, berwarna-warni. Gunung dan bebukitan di selatan kota kami muncul kembali, menyajikan warna hijau tua maupun hijau muda yang bersih. Amat bersih, basah, dan segar.

"Lihat! Lihat!" ucap ayah bergetar. "Bahkan bukit-bukit dan gunung pun tidak kuat menanggung rinduku. Kini muncul mereka kembali!" Mendengar itu ibu tak lagi terpana dan tercengang. Dipegangnya lengan ayah, ditepuknya pelahan-lahan. Mereka lalu sama-sama memandang bukit dan gunung. Berdua. Tak bicara, hanya berpegang tangan. Dan sampai senja.

"DEMIKIANLAH, aku ceritakan semua ini lebih rinci kepadamu, seperti juga kusampaikan kepada saudara-saudara kita yang lain," kata adikku terkecil lewat surat. "Karena akulah saksi semua itu. Sejak berbilang tahun. Sejak kau dan saudara-saudara kita berangkat satu-satu meninggalkan rumah, dan tak pernah kembali --atau kalaupun ada, jarang sekali. Dan mudah-mudahan, dengan ceritaku ini dapat lagi kau lihat suluh yang dinyalakan ibu itu pada jalan pulang. Bagiku sendiri cahayanya tetap benderang, tidak pernah pudar."

"Penyair terkenal itu memang pernah berujar," lanjut adikku. "Bahwa anakmu bukanlah anakmu ... dan seterusnya. Dan tanpa berniat mau jadi penyair, tapi aku pun ingin mengatakan di sini: ibu, juga ayah, adalah hati yang tidak lekang menunggu, kendati sadar tidak memiliki . Seperti ditulis penyair itu, anak adalah milik kehidupan. Namun, Saudaraku, kita juga akan menjadi tua. Dan tahu kelak, bagaimana hati yang tidak pernah lekang dalam menunggu."

Tiba-tiba aku sadari betapa lekasnya waktu berlalu, dan aku mabuk bergulung-gulung di dalamnya, sibuk. Hingga masa lalu semakin sayup bagai ekor tikus. Sudah berapa lamakah sejak aku berangkat meninggalkan rumah ibu? Ah. Dan lalu, kini, pun terngiang ujar ayah: "Sebab hanya itu yang tersisa bagi orang tua, Nak. Berita. Lebih-lebih rupa, dan *

Jakarta , 31 Oktober 2005

Sebelumnya: Ibu Memandang Gunung 1