Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Liang Lahat Zorta

Cerita Pendek M. Arman AZ

Zorta terperanjat menyambut pesan yang datang bertubi-tubi, beberapa detik setelah ponselnya dinyalakan. Lengking benda mungil itu serasa menggetarkan dinding kamar hotel. Memecah kehampaan pagi.

Wajahnya pucat mengetahui serangkaian SMS itu dikirim Verna, istrinya. Jempol Zorta lincah memencet keypad. Matanya tak berkedip menatap kalimat yang tertera di layar. Istrinya mengabarkan bahwa Pak Yongka, tetangga sebelah rumah mereka, meninggal jam sebelas malam tadi. Beliau tersengat stroke kedua. Pesan-pesan berikutnya berisi protes. Kenapa HP-nya tak aktif? Kemana dan apa saja yang dilakukan semalaman? Zorta membuang nafas gelisah.

Hampir jam enam pagi. Tanpa mandi atau sekedar cuci muka, Zorta bergegas pulang. Tentu saja mengantar teman kencannya pulang ke tempat kos lebih dulu. Kurang dari setengah jam, Zorta sudah memasuki ruas jalan menuju rumahnya.

Kertas minyak kuning melambai-lambai menyambut Zorta. Kendaraan parkir memanjang di kiri kanan jalan. Zorta memantau situasi dari dalam mobilnya. Halaman rumah Pak Yongka penuh pelayat. Semasa hidup, almarhum cukup disegani. Beberapa tetangga hilir mudik. Memasang tarup, menyusun kursi, dan mengatur kendaraan. Banyak juga wajah-wajah asing seliweran. Zorta menduga, barangkali mereka bekas murid almarhum. Sebagai pensiunan guru, tentu banyak anak didiknya yang sukses. Mendapat kabar Pak Yongka mangkat, mereka berdatangan memberi penghormatan terakhir.

Semula Zorta enggan melayat. Ia malu. Tetangga sebelah rumah kok datang belakangan. Tapi karena terus didesak Verna, akhirnya Zorta berangkat juga. Langkahnya terasa berat.

Malamnya, dengan alasan meriang, Zorta malas tahlilan. Untuk menghindari gerutuan Verna, Zorta mengutus sopirnya untuk menghadiri acara itu. Lantunan surat Yasin terdengar sayup-sayup. Zorta gelisah. Matanya nanar menatap wanita-wanita bahenol di layar kaca, sementara pikirannya melanglang ke tempat lain.

Suasana pemakaman Pak Yongka siang tadi menggasing di benak Zorta. Diorama perpisahan yang ngelangut. Iring-iringan jenazah menyusuri jalanan yang melepuh. Beberapa lelaki bahu-membahu menimbun jenazah. Meski keringat meleleh dan pakaian belepotan tanah, gerak mereka tetap ritmis saat mengayun pacul dan sekop, mendongkel tanah, lalu melemparnya ke dalam lubang yang menganga. Lambat laun liang itu tertutup gundukan tanah merah. Nisan kayu ditancapkan. Bunga warna-warni ditabur.

Zorta menyaksikan semuanya dari kejauhan, di bawah pohon kamboja. Ia seperti dicekam sesuatu. Entah apa. Angin sepoi menyentil setangkai bunga kamboja hingga lepas dari tangkainya. Jatuh persis di ubun-ubun Zorta yang botak mengkilat. Aroma harum berkelebat. Ia terkesiap dari lamunan. Memandangi bunga yang mendarat di ujung sepatunya. Zorta menelan ludah. Detik itu juga ia merasa ada kekuatan gaib yang melemparnya ke sebuah tempat yang asing dan jauh.

* * *

Keinginan aneh Zorta diprotes Verna. "Bapak, kok, ngomongnya ngelantur, sih?!". Istri mana tak kaget ketika suaminya berkata bahwa ia ingin memesan makam pribadi. Suara datar Zorta ketika mencetuskan niat itu membuat Verna curiga. Firasat buruk sempat melintas. Memahat kecemasan di wajah wanita yang rutin merawat tubuhnya di salon kecantikan itu.

"Aku serius, lho, bu. Hidup dan mati memang rahasia Tuhan. Tapi bukan itu yang kurisaukan. Coba bayangkan, bila meninggal nanti, kita kesulitan mendapat liang lahat untuk jasad kita." Samar-samar, Verna mulai bisa menerka apa yang tersirat di benak suaminya.

"Pemakaman Pak Yongka minggu lalu membuatku sadar pentingnya sepetak tanah untuk jasad manusia. Memang cuma satu kali dua meter, tapi di masa depan, pasti sulit memiliki tanah secuil itu. Sekarang saja, pemakaman sudah penuh sesak. Dilapis pualam atau dipagari. Bisa jadi ada kubur yang sudah puluhan tahun tanpa nisan, dan sudah rata dengan tanah, dipakai lagi untuk mengubur orang lain. Mana kita tahu, Bu?! Aku ogah dikubur tumpang tindih cuma gara-gara tak ada tanah yang tersisa."

Zorta menghitung-hitung. Mungkin, sisa umurnya kurang dua puluh tahun lagi. Dia khawatir jika saat itu tiba, ia sudah tak kebagian tanah kuburan. Jangankan di masa depan, saat ini pun tanah sudah jadi barang mahal. Manusia bisa saling tikam demi sepetak tanah. Karena itu, ia kebelet mematok tanah kuburan sejak awal.

Selanjutnya: Liang Lahat Zorta 2