Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Lingkaran Luka

Pandapotan MT Siallagan

RUMAH mungil berdinding gedek itu dikelilingi beberapa jenis pohon seperti kemiri, jambu air, rambutan, kakao, dan rumpun-rumpun pisang. Agak jauh ke belakang, membentang lahan luas yang sebagian dikelola dan sebagian lagi terbiar. Pada lahan yang dikelola itu, tumbuh beragam tanaman seperti jagung, cabe, ubi dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman itu tampak subur dan berwarna hijau, seperti berkisah tentang kecekatan pemiliknya bercocok tanam. Dan pada lahan yang terbiar itu, melebat beragam rumput dan semak-semak. Sesungguhnyalah ada sejarah luka yang meruap dari rumah, pohon, rumput dan semak–semak itu.

“Masih kaukenangkah kampung itu?” Suara itu menggelegar, menyusupkan segala getar ke dalam dada saya.

”Masih. Saya masih mengenang segalanya. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil menutup mata. Saya tidak sanggup menatap sosok asing bermata tajam dan bersuara berat itu. Saya juga tidak paham mengapa ia bisa berada di dalam kamar saya pada malam ini, pada saat hujan menderas. Berkali-kali saya mencubit lengan untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi. Dan benar, saya tidak sedang bermimpi. Saya tadi terbangun oleh petir yang menggetar, seolah-olah sebuah martil raksasa telah dihantukkan ke dinding rumah saya. Dan pada saat terbangun itulah saya menemukan sosok itu sudah berada di kamar saya, duduk di salah satu sudut.

”Tapi, siapakah Anda, Tuan?”

 ”Saya adalah ingatanmu. Maknailah!”

Bedebah! Keangkuhan sosok asing itu membuat saya sangat marah. Tapi, sekejap kemudian, amarah saya reda karena rumah mungil dan kampung itu muncul lagi dalam penglihatan saya. Atapnya penuh dengan daun-daun gugur, seperti telah terjadi angin topan. Di sisi kiri rumah itu, terdapat sebuah kandang yang dirancang dari batang-batang bambu dan di dalamnya hidup banyak ayam. Pada saat saya saksikan, ayam-ayam itu sedang berhamburan dari kandangnya. Jantan-jantannya berkokok, induk-induknya bersegera mencakar-cakar tanah, mencari makanan, dan anak mereka terciap-ciap. Lalu, seorang anak kecil tiba-tiba keluar dari rumah mungil itu, menenteng jagung pipil dan nasi basi, melemparkannya ke halaman. Maka berebutlah ayam-ayam itu menyantap sarapan pagi yang disuguhkan tuannya kepada mereka. Saya kaget. Apakah saat ini hari memang sudah pagi? Dan kekagetan itu makin menggila ketika saya mengamati anak kecil yang memberi makan ayam-ayam itu. Ia mirip seperti saya ketika kanak-kanak.

”Masih lekatkah peristiwa itu dalam ingatanmu?” Sosok itu bertanya lagi, dengan suara yang lebih menggelegar, memporak-porandakan kesadaran saya. Saya mulai merasa takut.

”Masih. Saya masih mengingatnya, Tuan. Tapi, tolong jangan kepung saya dengan luka,” kata saya sambil berusaha melirik jam dinding: pukul 03.13 WIB. Astaga, hari ternyata masih sangat dini. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar suara katak bersahut-sahutan dan saling memburu dengan gemuruh hujan yang menetes-netes dari genteng. Angin menderu, dan kudengar daun-daun pepohonan saling bergesek, seperti mempersembahkan tarian gaib pada malam. Saya makin tidak paham dengan apa yang terjadi. Saya cubit lagi lengan saya, sakit. Saya benar-benar tidak sedang bermimpi. Tapi, siapa dan untuk apa sosok keparat ini hadir di kamar saya? Apakah ia seorang perampok yang ingin menghabisi nyawa saya tapi terlebih dahulu mempermainkan saya dengan tindakan-tindakan aneh? Tapi, apa yang ia inginkan di rumah saya yang jorok dan melompong ini? Tak ada apa-apa di rumah ini selain kesunyian. Dan, apapun resikonya, saya putuskan menghajarnya. Tapi, ketika saya hendak bangkit dan mendaratkan tendangan di perutnya, ia berkata, “Saya bukan maling”.

Saya tersentak. Saya gemetar. Tubuh dan seluruh tulang-tulang saya terasa panas. Saya menggigil.

”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka,” suara saya bergetar.

”Saya tidak melukai Anda. Tapi saya adalah luka Anda sendiri. Hayatilah!”

Maka penglihatan saya akan rumah mungil dan kampung itu melintas lagi. Sekarang, seorang wanita separuh baya keluar dari pintu belakang, membawa sapu lidi. Wanita itu lalu menyapu halaman, mengumpulkan daun-daun gugur. Dan ketika wanita itu membakar sampah dan daun-daun gugur pada sore harinya, saya melihat bukan asap yang membubung, tapi semacam kesedihan. Saya mencium bukan uap asap yang meruap, tapi semacam kenangan. Lalu, serpih-serpih kehilangan menguap ke angkasa dan mencoreti langit dengan segala yang habis, terbakar oleh waktu.

”Masih kau ingatkah wanita itu?” sosok asing itu bertanya lagi.

 ”Tidak.”

 ”Masih kauingatkah wanita itu?” suara sosok asing itu mengerang marah, seperti tahu bahwa saya sedang berbohong. Saya gemetar, semakin ciut didera rasa takut.

 ”Ya,” kata saya akhirnya, “Dia bekas ibu saya.” Pada saat itu, saya tiba-tiba merasa sangat sakit, seolah-olah telah ditikamkan ratusan pisau ke sekujur tubuh saya. Dan, rasa sakit itu semakin menggila ketika sosok asing itu mencambuki tubuh saya.

 ”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

 ”Saya tidak melukaimu. Saya hanya ingin menyelamatkan hidupmu dari kutukan.”

Lalu seorang lelaki kurus berkulit legam keluar dari rumah mungil itu. Ia menghampiri istrinya dan berkata, “Tak guna kau bersihkan halaman ini, Istriku. Biarkanlah kesedihan dan kenangan itu berserakan. Tak guna kau membakarnya, sebab masa lalu yang membubung itu akan membuat nafasmu semakin sesak.”

Pada saat itu, lelaki kecil yang memberi makan ayam-ayam itu datang menghampiri suami-istri itu. “Ayah, Ibu, ayam-ayam itu sudah kenyang disuapi tanganku. Mereka mengucap syukur dan berdoa untuk kesehatan Ayah dan Ibu.”

”Kata-katamu beracun benar, Anakku. Kelak, bukan hanya doa binatang yang kau sampaikan menghina orang tuamu. Tapi kau mungkin akan membunuh ayahmu dengan kebuasan binatang.”

”Tidak. Aku tidak mungkin membunuh ayah…”

Penglihatan saya tiba-tiba dibuyarkan oleh sosok asing itu. “Sekarang, kau bahkan tak merasa bersalah setelah bertahun-tahun membunuh ayahmu. Kau juga membiarkan ibumu menderita dalam kesepiannya,” katanya.

 ”Tuan, tolong jangan kepung saya dengan luka.”

***

HUBUNGAN saya dengan ayah berlangsung seperti sebuah tragedi kebohongan. Saya, anak yang selalu dididik menjadi orang soleh, selalu menangkap kejahatan dan kebusukan justru hadir dalam setiap prilaku ayah, orang yang selalu memberi saya berbagai nasehat. Sejak kecil, mungkin sejak saya ingat saya ada, ayah selalu bercerita pada saya. “Nak, kita hidup di sebuah negeri yang makmur. Negeri yang memberi banyak kemungkinan berbahagia kepada banyak orang. Kelak, jika kau sudah besar, akan kau lihat negerimu ini sesak diserbu para pemburu. Kau juga akan sadar betapa tak jelas batas antara pemburu dan buruan. Pemburu-pemburu itu, anakku, muncul dengan wajah anjing, babi, dan binatang-binatang aneh lainnya. Dan kita adalah buruan itu, manusia-manusia tak berdaya. Jadi, anakku, kau harus bisa jadi lelaki kuat, agar kelak pemburu-pemburu itu bisa kauusir dari tanah kita. Dan ingat, mintalah kekuatan itu dari Allah. Tidak akan terberkati hidupmu jika kau tidak menghadapkan wajahmu kepada-Nya.”

Selanjutnya: Lingkaran Luka 2