Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sebutir Peluru Tak Mampu Membuat Mawar Itu Layu

Cerita Pendek M. Arman AZ

Jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu, mengabarkan pada ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu.
Musim baru saja berganti. Langit mendung dan dingin mengepung. Seperti senja kemarin, aku kembali duduk di beranda, bersama segelas kopi dan sebungkus rokok. Menunggu gerimis pertama luruh di awal bulan ini.
Bis kota yang miring ke kiri karena sarat penumpang berhenti persis di depan rumah. Lima orang bergiliran keluar dari pintu belakang. Seorang karyawan menjinjing tas kerja, dua pelajar SMU pulang sekolah, ibu separuh baya membawa bungkusan plastik hitam, dan gadis manis berpakaian modis. Letih campur cemas terpahat di wajah mereka saat melangkah di trotoar. Semoga hujan tak keburu tumpah sebelum tiba di rumah, mungkin begitu kata hati mereka resah. Bis kota kembali melesat. Lenyap di jalanan yang padat. Menyisakan asap knalpot hitam pekat.
Di halaman rumah ada pohon angsana meranggas disiksa kemarau. Kesiur angin merontokkan daun-daunnya yang kering. Menari gemulai di udara sebelum membentur aspal, atap, dan sebagian menistai jalanan. Sebentar lagi dedaunan itu tinggal riwayat. Lebur bersama tanah, jadi humus yang menyuburkan, lalu lahirlah daun-daun baru yang hijau segar.
Menikmati diorama senja di beranda. Memandangi seruas jalan yang tak pernah mati. Menyaksikan musim demi musim yang terus berganti. Aku tak sanggup membayangkan semua itu akan sirna, sebentar lagi.
Gerimis akhirnya luruh juga.

***

Kata orang, kita baru sadar bahwa pernah memiliki sesuatu yang berharga justru setelah sesuatu itu hilang dari kehidupan kita. Kupikir ada benarnya juga. Hari-hari belakangan ini, aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Mengais-ngais kenangan yang masih tersisa sebelum raung buldoser meluluhlantakkan sejarah kami.
Almarhum kakek mewariskan empat rumah yang berderet di tepi jalan protokol. Sebagai anak tertua, bapakku menempati rumah paling kiri. Halamannya luas. Begitu juga ruangan-ruangan dalam rumah. Semasa kakek dan nenek hidup, rumah ini jadi tempat berkumpul keluarga besar kami. Jika ada hajatan atau hari raya, pasti riuh oleh tawa dan rengek bocah, juga percakapan orang-orang dewasa. Malamnya kami semua tidur menghampar di sembarang tempat. Di ruang tamu, ruang keluarga, atau di loteng atas. Tradisi itu masih terjaga hingga kini.
Pamanku, adik bungsu Bapak, menempati rumah di ujung kanan. Dua rumah di tengah adalah jatah kedua bibiku. Namun karena ikut suami, rumah itu mereka sewakan. Satu disewa sebuah perusahaan konsultan, satu lagi disewa pasangan suami istri yang baru menikah.
Beberapa bulan lalu seorang lelaki berpakaian perlente datang ke rumah menemui bapak. Dia utusan salah seorang pengusaha terkenal. Kata lelaki itu, pimpinannya berminat membeli tanah berikut keempat rumah kami. Dia menanyakan apakah bapak sebagai ahli waris berniat menjualnya. Meski tidak terang-terangan memberitahu tujuannya, kami yakin mereka punya rencana mendirikan ruko di atas tanah ini. Sejak beberapa tahun lalu tanah di tepi jalan protokol di kota kami jadi incaran orang-orang berduit dan berotak bisnis. Selain tempatnya strategis, juga menjanjikan keuntungan yang manis.
Setelah bapak dan ketiga adiknya berunding, akhirnya mereka sepakat menjual tanah berikut rumah. Memang tinggal empat rumah kami yang tersisa di ruas jalan ini. Rumah-rumah lain sudah lebih dulu dijual pemiliknya. Di kiri kanan rumah kami, kini tegak ruko-ruko mentereng. Semuanya sudah terisi. Bengkel perawatan mobil, tempat kursus, salon, warnet, dan lainnya. Ganjil juga melihat tempat tinggal kami terjepit di antara ruko-ruko itu.
Aku tak mau ikut campur dengan urusan mereka. Hasil penjualan tanah memang sangat besar. Syukurlah tak sampai terjadi pertikaian gara-gara rebutan warisan seperti dialami keluarga-keluarga lain. Sepasang suami istri itu sudah pindah setelah diberi ganti rugi. Tinggal menunggu perusahaan konsultan di sebelah rumah kami. Masa kontraknya selesai kurang dua bulan lagi. Setelah itu, kami harus angkat kaki.
Bapak dan paman telah membeli rumah baru yang letaknya agak ke luar kota. Aku sudah melihat kondisi dan lokasi rumah itu. Jauh dari hiruk-pikuk. Udara pun masih terasa segar. Tak lama lagi kami pindah ke sana. Dan beberapa hari belakangan ini, aku suka menghabiskan waktu di rumah saja. Termenung mengenang semua cerita yang bersemayam dalam rumah ini. Sungguh, tak bisa dihitung!

***

Rumpun mawar di pojok dekat pintu pagar senantiasa mengingatkanku pada dua sosok yang telah lama hilang. Andri, sahabat karibku semasa SMA, dan almarhumah ibu.
Sembilan tahun lalu, saat acara perpisahan sekolah, Andri memberiku kenang-kenangan sebutir peluru. Aku tercengang melihatnya. Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Semula ingin kukembalikan saja karena tak mau ada masalah di kemudian hari.
”Simpanlah peluru ini baik-baik. Jika panjang umur dan kita sempat bertemu lagi, aku ingin melihat peluru ini masih ada.”
Aku terharu mendengarnya. Sejak SMA dia memang bercita-cita jadi tentara, mengikuti jejak sepupu-sepupunya. Waktu berkunjung ke rumahnya, aku pernah melihat foto-foto lelaki gagah terpampang di dinding. Ada yang jadi pilot pesawat tempur, tentara, marinir, dan reserse. Andri bercerita panjang lebar tentang siapa saja dalam foto itu, juga cerita-cerita seputar pengalaman mereka. Andri juga mengaku jauh-jauh datang dari kota kabupaten, menumpang di rumah pamannya yang masih aktif di tentara; selain untuk melanjutkan pendidikan, juga agar pamannya membantu meloloskan niatnya.

***

Selanjutnya: Sebutir Peluru Tak Mampu Membuat Mawar Itu Layu 2