Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Abang kan paham ada 40 juta penganggur karena lapangan pekerjaan baru nihil. Berpuluh-puluh juta orang hidup dalam kemiskinan, sangat melarat. Tidak punya tanah, sawah, ladang, pekerjaan, juga tak memiliki rumah. Anak-anak mereka tidak bersekolah!" Dia terhenti sejenak. Mengatur napas."Jadi kuncinya ekonomi," lanjutnya. "Selama ekonomi masih buruk, hanya ditata lewat omongan melulu di koran serta televisi, melalui pidato-pidato politik, sementara korupsi jalan terus dan keadilan tidak bersungguh-sungguh ditegakkan, orang-orang malang itu bakal bertambah banyak, berkeliaran di jalan-jalan!"Aku terperangah. Argumentasinya. Lebih-lebih semangat dan sikapnya. Sungguh tidak kusangka dia akan berlaku demikian. Rupanya dalam mata yang mudah jatuh kasihan itu juga tersimpan semangat serta ketegasan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam hatinya yang lemah ada yang bisa mengeras serupa baja.Mengapa semua itu selama ini tidak kukenali? Padahal telah kuhapal tubuhnya yang ramping dalam sepuluh tahun perkawinan kami. Aku hapal wangi tubuhnya yang khas. Juga desah napasnya yang lembut di kala tidur. Aku benar-benar merasa berada di dekat manusia asing. Bukan istriku. Ah. Apakah kita bakal tetap asing satu sama lain, tak kecuali dengan istri sendiri?Sementara itu suaranya masih terdengar: "Ironisnya, dalam situasi seperti itu banyak orang beranggapan tidak mendidik jika orang-orang yang tak berdaya itu disedekahi seribu dua ribu rupiah. Semua seakan ingin mendidik mereka tapi tanpa menunjukkan atau membukakan jalan. Dan, siapa yang akan membantu orang-orang itu mengatasi beban yang mendesak seperti lapar yang tidak mungkin ditunda? Sakit yang terpaksa ditanggungkan lantaran tidak punya uang untuk berobat?"Aku belum juga menemukan diriku. Masih terkatung-katung antara istriku dan sosok asing yang muncul dari dirinya. Juga ketika waktu berlalu dan lengannya yang lampai terasa merangkul tanganku, seolah berkabar dia tetap perempuan yang sepuluh tahun belakangan ini mendampingi hidupku, sosok asing itu tidak lenyap.Lalu kudengar istriku menarik napas. "Aku tahu Abang hanya terlalu letih saja," bisiknya lunak. "Bagaimana jika minggu depan kita libur ke luar kota bersama anak-anak?"Aku cuma manggut-manggut. Lengannya kembali memeluk tanganku, lebih erat dan mesra. Tetapi sosok asing itu tetap tidak lenyap. Atau barangkali memang tidak akan pernah pergi lagi, tinggal menetap sebagai unsur baru dari diri istriku yang menuntut dikenali.Sejak itu aku agak berhati-hati menyikapi perbuatan istriku yang konyol dan berbahaya itu. Betapapun tidak elok memelihara bibit konflik dengan manusia paling dekat dalam hidup kita. Dan, jangan-jangan istriku nanti malah menyangka uang receh yang ia bagi-bagikan itu penyebab ketidaksukaanku. Bukan akibat buruknya. Buruk bagi pemalas yang berkerumun di lampu-lampu merah itu, terlebih buat istriku. Akan makin runyam kalau sopir kami ikut-ikutan menduga demikian."Biar sopir memberikan, tak usah kau julurkan tanganmu ke luar," kataku di suatu perempatan jalan berlampu merah."Begitu juga bagus, ya Bang. Yang penting manfaatnya untuk mereka, bukan siapa yang memberi."Sesukamu, ucapku dalam hati. Yang penting bagiku, lenganmu tak ditebas kapak merah. Masak istri manajer perusahaan multinasional, dan tidak pernah mengemplang uang negara, tangannya buntung!"Toh anak-anak yang kita bantu biaya pendidikannya juga tak mengenali kita ya Bang? Memang tidak penting amat, kan ?"Suka-suka kamu, kataku lagi dalam hati. Asal jarimu yang lentik tidak dikerat belati berkilat. Atau, lehermu yang jenjang tidak ditembus ujungnya yang lancip. Begitulah aku mengelola bibit konflik itu supaya tidak tumbuh berduri di antara kami. Aku rasa istriku pun melakukan upaya yang sama, tanpa harus ke Singapura atau Amerika Serikat untuk mengoperasi matanya agar tidak mudah lagi jatuh kasihan.Namun kedua anak kami, si kembar Audi dan Auya yang baru kelas dua SD, juga mengejutkanku. Berjalan-jalan ke mal bertiga dengan mereka suatu hari tanpa sopir, mobil segera kuhentikan di pertigaan saat lampu lalu lintas menyala merah. Tiba-tiba keduanya membuka jendela lalu menjulurkan tangan ke luar. "He, he, apa yang kalian lakukan?""Ngasih uang, Pa. Kasihan!" mereka menyahut dan menengok. Mata keduanya berbinar dilumuri rasa kasihan, persis mata istriku. Dadaku berdebar."Kalian tak takut dijahati orang-orang itu?" tanyaku saat lampu lalu lintas menyala hijau."Kata Mama mereka yang tulus membantu tidak akan dijahati orang, Pa," jawab Audi."Mama bilang, orang bisa melihat ketulusan orang lain dari matanya, Pa," sambung Auya bangga.Aku menarik napas. Lalu kuawasi saja anak-anakku dengan semangat melindungi. Dua gadis kecilku kini bercakap-cakap sembari tertawa-tawa. Dan aku merasa itu memang yang lebih bijak bagi seorang ayah.

***

Sebelumnya: Mata yang Mudah Kasihan 1