Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Rumpun mawar di pojok dekat pintu pagar senantiasa mengingatkanku pada dua sosok yang telah lama hilang. Andri, sahabat karibku semasa SMA, dan almarhumah Ibu.

Sembilan tahun lalu, saat acara perpisahan sekolah, Andri memberiku kenang-kenangan sebutir peluru. Aku tercengang melihatnya. Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Semula ingin kukembalikan saja karena tak mau ada masalah di kemudian hari.

"Simpanlah peluru ini baik-baik. Jika panjang umur dan kita sempat bertemu lagi, aku ingin melihat peluru ini masih ada."

Aku terharu mendengarnya. Sejak SMA dia memang bercita-cita jadi tentara, mengikuti jejak sepupu-sepupunya. Waktu berkunjung ke rumahnya, aku pernah melihat foto-foto lelaki gagah terpampang di dinding. Ada yang jadi pilot pesawat tempur, tentara, marinir, dan reserse. Andri bercerita panjang lebar tentang siapa saja dalam foto itu, juga cerita-cerita seputar pengalaman mereka. Andri juga mengaku jauh-jauh datang dari kota kabupaten, menumpang di rumah pamannya yang masih aktif di tentara; selain untuk melanjutkan pendidikan, juga agar pamannya membantu meloloskan niatnya.

* * *

Bapak dan Ibu kebakaran jenggot waktu kuperlihatkan benda mungil sebesar biji tangkil itu. Ibu panik. Bapak marah. Mereka menyuruhku mengembalikan peluru itu atau membuangnya jauh-jauh.

Aku gamang. Membuang peluru itu sama saja membuang kenang-kenangan dari seorang sahabat. Menyimpannya berarti merawat masalah dengan orangtua. Sampai larut malam, kutimang-timang peluru itu sembari memikirkan jalan keluarnya.

Besoknya aku bangun pagi buta. Peluru itu kumasukkan dalam plastik bekas obat, kulipat sekecil mungkin, lalu kuikat dengan karet gelang. Kugali tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Setelah kurang lebih sejengkal kedalaman lubang, kutanam bungkusan itu. Kutimbun dan kutata lagi tanahnya seperti semula agar tak ada yang curiga. Ketika Bapak dan Ibu menanyakan perihal peluru itu, kubilang sudah kukembalikan ke pemiliknya.

Sampai kini, aku dan Andri belum pernah bertemu lagi. Kabar terakhir yang kudengar, dia sudah berhasil meraih mimpinya. Jadi tentara berpangkat rendah dan dinas di sebuah kota kecil di pulau seberang. Dia juga sudah menikah dan dikaruniai seorang anak.

* * *

Siang ini rumah sunyi. Sepi bernyanyi. Angin menari. Ruang-ruang dalam rumah telah kujelajahi. Bapak dan tiga adikku telah pergi. Entah kapan mereka akan kembali. Yang jelas, saat keluar tadi, mereka lupa mematikan televisi.

Kucomot remote di atas bantal gajah yang sudah peyot. Kupencet tombol merah. Benar kata seorang teman, televisi sudah jadi hantu elektronik. Setiap hari layar kaca menjejeli penonton dengan berita-berita buruk rupa.

Kemarin ada berita seorang pedagang sayur dibegal subuh buta. Motornya dibawa kabur setelah perampok menembak dadanya. Dua lubang sebesar biji tangkil itu membuat udara berhenti keluar masuk dari hidung si pedagang sayur. Kemarinnya lagi, ada berita polisi dan tentara baku tembak dalam diskotik. Konon rebutan wilayah kekuasaan. Kemarinnya lagi, seorang lelaki diciduk karena menyodomi duabelas bocah. Kemarinnya lagi, anak pejabat melepaskan tembakan di tengah kerumunan massa yang nyaris menghajarnya karena menabrak anak kecil. Kemarinnya lagi, bangkai bayi ditemukan terongok dalam kardus mi. Kemarinnya lagi, dua kampung tawuran gara-gara salah paham. Kemarinnya lagi, penguasa negeri membaca teks bahwa negeri ini aman terkendali. Dan setiap malam, sinetron dan kuis-kuis penonton meringis sinis.

Kupikir sudah saatnya dibuat peringatan baru, bahwa selain merokok, menonton televisi pun bisa menyebabkan serangan jantung dan sesak nafas.

* * *

Dulu, di waktu-waktu yang tak tentu, aku sering mencuri waktu mengorek-ngorek tanah dekat rumpun mawar di pojok pagar. Aku lega menemukan bungkusan berisi peluru itu masih ada. Terbayang dibenakku wajah seorang sahabat lama.

Siang itu langit mendung. Dingin mengepung. Rumpun mawar bergoyang-goyang ditiup angin. Ada beberapa kuncup mungil di sana . Sebentar lagi mawar-mawar merekah. Mengeluarkan aroma harum semerbak. Aku ingin sentimentil sejenak dekat rumpun mawar itu.

Yeah, waktu adalah hakim yang paling adil. Tak bisa kulupakan peristiwa itu. Pertengkaran terakhir dengan Ibu sebelum beliau meninggal.

Suatu hari ibu membeli bibit mawar yang dijual pedagang bunga keliling. Ibu mengorek-ngorek tanah di sekitar rumpun mawar untuk menanam bunga yang baru dibelinya. Tak sengaja Ibu menemukan bungkusan plastik berisi peluru itu. Tak ayal lagi, Ibu menuduhku telah mengelabuinya bertahun-tahun!.

"Benda ini biang masalah! Tak ada gunanya! Sudah kusuruh buang, eh rupanya sekian lama kau tanam dekat rumpun mawar itu! Bisa mati semua bunga kesayanganku" Dan masih banyak lagi celoteh Ibu. Meski aku ngotot ingin menyimpan peluru itu, Ibu dan Bapak tak juga menyerahkannya padaku.

Entah bagaimana nasib peluru itu di tangan mereka. Aku sudah mencarinya ke setiap sudut rumah. Tapi hingga kini tak pernah kutemukan jejaknya. Membayangkan kenang-kenangan itu sudah dibuang, aku termangu mengingat seorang sahabat.

Kesiur angin merontokkan sehelai daun mawar yang kuning digerus usia. Aku mendesah haru. Sebentar lagi rumah ini rata dengan tanah. Begitu juga rumpun mawar kesayangan almarhum Ibu. Semuanya akan jadi sejarah.

Ah, jika punya kuasa melipat jarak dan waktu, sungguh, aku ingin pulang sejenak ke masa lalu. Mengabarkan pada Ibu bahwa sebutir peluru tak mampu membuat mawar itu layu.

* Bandar Lampung, 2004

Sebelumnya: Sebutir Peluru 1