Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kukatakan kepada anakku, Engkong Buari adalah tetangga seberang rumah kakeknya di Kapuk dulu. Dialah orang yang lebih menyempatkan diri mengajari bapaknya memancing ikan, menjaring burung, maupun membuat layang-layang. ("Jadi bukan kakekmu," gumamku tertelan. Pikiranku menerawang ke masa bocahku ketika manusia masai di hadapanku ini banyak ikut mengisi ruang-ruang kosongnya sehingga menjadi lebih penuh dan lebih bisa dikenang.)

"Yah, berapa kilo rumah kakek dari sini?" sela anakku.

"Lima puluh, atau... mungkin enam puluh kilometer."

"Kalau pindah ke barat terus, nanti empat puluh tahun lagi bisa-bisa Kong Buari menjaring burung di Carita, ya, Yah?"

Aku terperangah oleh demonstrasi matematika dasar yang diproses dalam kepala kecil yang menggelendot menggesek- gesekkan pipi di perutku. Bulat bening mata anak kelinci itu berkedap-kedip layaknya lampu sinyal sebuah komputer meja yang sedang memproses data. Mengawali perjalanan, bocah itu bertanya jauh Pantai Carita dari Jakarta, mungkin sambil membayangkan berapa jam lagi baru bisa menggelar play station-nya.

"Ah, kamu ini betul-betul kalkulator kayak kakekmu; apa saja dihitung, bahkan duit yang masih ada di kantong orang lain."

Pak Buari menebarkan giginya ke padang ilalang.

"Betul kan Yah? Kan ayah bilang Carita seratus kilo lebih dari Jakarta," protesnya menengadah. Matanya menyipit disergap matahari. Aku menekan depan topi petnya lebih dalam.

"Boleh jadi. Tapi, umur manusia kan...." Kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Aku menoleh ke Pak Buari yang masih menyungging bibir, khawatir dikira menyumpahi dia cepat mati.

"Malah mungkin sudah menyeberang sampai Lampung," selorohku sekenanya mencoba mengatasi kikuk. Sejak awal perjumpaan memang terlintas di benakku kepenatan di wajahnya yang seperti meratap minta diakhiri. Badannya melengkung dengan sepasang lengan tergelantung mengisut, kedua batang kakinya terus bergoyang kecil seperti ilalang mengegos terpaan angin, dan jemarinya terus bergeletar kecil seperti kawat jemuran ditinggal terbang pipit, menceritakan dengan jelas penat yang ingin segera disudahi. (Dan, empat puluh tahun lagi usia manusia ini sudah melewati satu abad. Wah!) Pikiran ini membuatku jengah, membangkitkan semacam perasaan tertangkap basah.

"Malah berapa abad lagi, kalau umur engkong sudah berapa ratus tahun nanti, engkong dan encingmu barangkali malah sudah harus menjaring burung di Madagaskar," timpal Pak Buari terkekeh.

"Madagaskar? Di mana tu kong? Jauh ya Yah?"

"Ya. Jauh. Jauuuh sekali." Orang tua itu menuding ke barat, telunjuknya mendongak ke atas seperti ingin melompati padang ilalang, pulau-pulau, dan samudra; bahkan menyeberangi cakrawala.

Aku, Pak Buari, dan anak-anaknya kembali tergelak, sementara anakku berkerinyut kening. Dia meringis lucu. Di wajahnya, ada sesuatu yang tak jadi terucap.

Waktu tak terasa meredup. Matahari lengser. Dari ufuk barat semburat jingga menyembur semak dan ilalang dengan sisa- sisa kehangatannya. Anakku memaksa menunggu gelap tiba agar dapat menyaksikan burung-burung liar itu masuk perangkap, dan bergeletar menancap pada jaring, persis seperti yang sering kudongengkan kepadanya. Akan tetapi, petang itu aku telanjur membuat janji yang tak mungkin kuabaikan. Menggamit menyalam-tempeli, aku pamit seraya berjanji akan segera mengunjunginya kembali. Malu-malu dia mendesah, bola matanya berpendar jingga menjawab basa-basiku.

"Kapan ya... Bapak akan segera pindah lebih ke barat lagi akhir bulan ini. Terima kasih banyak...," ujarnya memburai- burai rambut anakku. "Rajin belajar ya. Jangan lupa engkong...."

Melesat cepat kami memasuki Jakarta seperti ingin mengakhiri sesuatu dengan memulai sesuatu yang lain: sebuah penyesuaian diri terhadap kota yang selalu membuat warganya tersengal-sengal mengikuti iramanya yang serba gegas. Bayang-bayang pagar lintasan tol, rumah-rumah mentereng di real estate yang gundul pepohonan, rerumputan, ilalang, kumis kucing, serta semak kangkung- kangkungan yang layu dan berdebu di hamparan-hamparan tanah luas dan terbuka, yang telantar menunggu kelanjutan pembangunan yang tak kunjung tiba, dengan cepat berkelebat ke belakang ditelan bayang-bayang mobilku. (Sempat terlintas tanya, mengapa begitu banyak orang lebih suka melihatnya telantar mubazir seperti itu? Betapapun, aku juga menyadari, semua ini tentu jauh lebih pelik-malah bisa jadi musykil-dari yang dapat kita rasakan, yang aku rasakan. Bahkan, bisa jadi, oleh sebab yang tidak pernah betul-betul kita kenali musababnya, gemintang di langit bisa saja mendadak bergeser semaunya sendiri, berlarian, berkejaran, atau bahkan bertubruk-tubrukan, dan lalu jentera nasib pun ikut menggeleser pula, mengubah nasibku, nasib anakku, atau mungkin nasib salah satu cucu- buyutku untuk sekali lagi bersilangan nasib dengan Pak Buari, anak-anak Pak Buari, cucu Pak Buari, cicit-buyut-canggah Pak Buari, bisa pula Pak Buari-Pak Buari yang lain, atau bahkan bukan Pak Buari-Pak Buari yang lain entah siapa pun nama mereka; bersilangan pada satu titik tanah-tanah gusuran di antara Carita-Jakarta, sebagai yang tergusur dan menggusur, atau apa pun lakon masing-masing, dan aku, celakanya, tak tahu harus berbuat apa... selain menyebutnya sebuah ironi, barangkali.)

Seperti sontak menyembul dari keremangan senja, anakku berkata, "Ayah tidak usah khawatir...." Bocah itu menatap lekat-lekat kedua bola mataku seakan hendak menyelam dalam ke danau kenangan di baliknya. "Ibu guru bilang bumi ini bulat. Nanti, kalau sudah Madagaskar, lama-lama juga engkong bakal mutar balik sampai Jakarta lagi, dan kita bisa ketemu lagi. Iya kan Yah?"

"Ya..., tentu...," sahutku seperti menakar keyakinan.

"Tapi lain kali sampai malam Yah. Aku mau lihat burung-burung itu kejaring."

"Usia manusia tak sepanjang itu." Kutelan kembali kata-kata ini sebelum melompati tenggorokan. Ada sesuatu dari masa lalu mencegahku mengucapkannya betapapun sosok kekar itu bukan saja sudah tertinggal lebih dari enam puluh kilometer, melainkan bahkan, kehangatannya padaku, telah tertinggal lebih dari empat puluh tahun ke belakang.

"Kalau waktu itu tiba, Jakarta sudah berubah total jadi rimba beton, jalan aspal, dan ladang parkir. Takkan ada cukup kecebong, ulat, belalang, cacing, cecere, apalagi ikan- ikan yang lebih besar. Burung- burung itu takkan tertarik kembali kemari, begitu pula...."

Mata kelinci itu kembali berkedap-kedip mensinyalkan kecamuk keras dalam kepala mungil sang bocah untuk memahami ironi, fakta hidup, permainan nasib, atau apa pun namanya, yang sedang berlangsung.

"Mungkin mereka tidak suka makan burger dan bertengger di mal-mal," ujarku membahasakan keruwetan itu semudah mungkin agar bisa lebih dipahami bocah ini.

Bibirku terangkat sebelah. Bayang-bayang Jakarta yang senja, yang panjang dan jingga, dengan cepat berebahan di sepanjang pagar tol, lalu berkelebat ke sebalik punggungku. Betapa cepat waktu melintas, jauh lebih cepat dari yang dapat dicatat sebuah speedometer. Kubayangkan, seharusnya, inilah saatnya. Inilah saat mereka bersorak melonjak-lonjak melihat kawanan besar burung-burung liar sedang melintas cepat dari langit barat. Akan tetapi, bayangan lain terus menyela: juga itulah saatnya matahari terbenam di ufuk barat... .

Sebelumnya: Semakin dan Semakin ke Barat 1