Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Wajah Malam

Cerita Pendek Adek Alwi

PEREMPUAN yang berdiri di lembah malam, telah bertahun-tahun ia di situ, di bawah lampu jalan yang dingin beku. Ia bukan wanita malam walau tiap malam di tempat itu. Tidak semua perempuan yang terlihat di jalan di malam hari adalah wanita malam. Jadi bila kau lelaki iseng jangan sekali-kali merayu. Ia tidak akan marah atau memakimu, tapi tetap beku bak lampu jalan dan tiang listrik yang dingin itu. Dan kau pun jadi bosan, lalu meninggalkannya, mungkin sambil menggerutu.

Tak ada yang tahu siapa namanya; jangan-jangan ia sendiri pun sudah lupa. Di mana dia tinggal, tidak ada yang tahu. Pedagang rokok yang berkios dekat tiang listrik hanya melihat dia muncul di ambang malam dari mulut gang yang bermuara ke jalan itu. Lalu lenyap lagi di mulut gang bersama kabut dini hari. Antara ambang malam dan dini hari tidak sekalipun dia sudi didekati lelaki. Banyak yang merayu, dia tetap diam membeku.

"Lalu untuk apa dia di situ?" tanya lelaki muda itu kepada pedagang rokok.

"Menunggu anak dan suaminya."

"Ke mana anak dan suaminya?"

"Disembunyikan malam."

"Disembunyikan malam? Apa maksudmu?"

"Entah," jawab pedagang rokok. "Coba saja dengar jika dia bersuara."

Lelaki muda itu penasaran, ingin tahu. Ia bukanlah lelaki iseng pencari wanita malam. Ia terjun ke lembah malam --pertama kalinya malam itu-- justru karena pusing menghadapi perempuan.

Gadis yang dipacarinya mendesak kawin. Gadis itu tak sabar lagi menunggu, karena ayahnya semakin sering batuk-batuk dan ingin sekali punya cucu. "Cepat, cepatlah kau menikah!" pinta ayah gadis itu. "Aku ingin melihat cucu. Melihat turunanku, sebelum maut itu menjemput!" Lalu lelaki tua itu menunjuk ke sudut kamar.

Gadis itu menangis. Ia memang gadis yang malang . Dua kakaknya mati di usia muda. Ibunya wafat saat ia 12 tahun. Sejak itu ayahnya jadi murung; khawatir tak memiliki cucu, atau tidak akan melihat garis turunannya berlanjut. Lelaki muda itu paham kecemasan si calon mertua. Tapi, baginya, perkawinan bukan perkara sederhana. Dia merasa belum punya apa-apa. Dia ingin mapan sebelum berrumah tangga. "Tapi kau sudah punya mobil," kata pacarnya.

"Tidak cukup," balas lelaki muda itu. "Biar aku punya rumah dulu. Aku ingin membahagiakanmu dengan sebuah rumah."

"Aku sudah bahagia bila kau mengawiniku. Melahirkan anakmu."

"Itu bukan kebahagiaanmu. Kebahagiaan ayahmu."

"Aku pun bahagia membahagiakan ayah."

Lelaki muda itu ketawa, lalu terhenti waktu pacarnya menatap. Baru kali itu ia lihat gadis yang lembut dan cantik itu bermata demikian. Tajam. Mengiris. "Ternyata, kau sama saja dengan pemuda lain!" ucap gadis itu mendesis.

"A-apa maksudmu?" Lelaki muda itu tergagap, bagai terjerembab.

"Egois. Kau bukan ingin membahagiakanku dengan sebuah rumah. Kau ingin membangun kebanggaanmu dengan memiliki rumah!"

"Tidak. Bukan begitu."

"Begitu yang kumaknai!" potong si gadis. "Bagimu, bahagia adalah memenuhi ambisi pribadi. Kita berbeda. Sebab bagiku, bahagia adalah menjadi cahaya bagi yang lain. Membuat orang lain merasa bahagia." Lalu gadis itu pergi, meninggalkan lelaki muda itu sendiri, disergap kebingungan dan hati yang gundah.

***

Selanjutnya: Wajah Malam 2