Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Wayan Cantik

Cerita Pendek Adek Alwi

"JIKA saya laut, apa Bli Tanius masih mau memandang-mandang seperti itu!" Suara Wayan Cantik yang berdetus-detus dalam logat Bali , di belakangku. Di dekat gadis itu Suardika jalan bergegas, cengar-cengir. "Coba saya kamu tanya begitu," dia bilang. "Jangan lagi memandang, merenangimu tiap hari saya mau, Wayan!"

Wayan Cantik cemberut. Kemudian tertawa, memukul bahu Suardika. " Beh , kamu pukul saya Wayan!" Suardika meringis, ikut tertawa. Kami tertawa di bawah matahari pagi yang melimpah-ruah. Di bibir pantai, Rai Sulastra kulihat masih jeprat-jepret dengan kamera walau sunrise telah lewat. Matahari kini menghangatkan Sanur. Bersama Sulastra ada Dwija, Naria, Dayu, Joko, Diana, Agus -semua gembira dalam usia muda, serupa pagi dengan matahari.

Anak-anak muda itu aku bawa ke Sanur subuh tadi, berdesakan dalam Kijang, melihat matahari terbit dan makan bubur ayam. Besok koran kami tidak terbit, libur. Ide itu lahir dua hari lalu. Kusuruh Sulastra mengajak orang-orang di kantor tapi cuma mereka yang mau. Tidak apa-apa. Sembilan orang lebih baik daripada bertiga dengan Sulastra dan Suardika, apalagi sendiri.

"Mereka bilang Bli Tanius aneh. Orang ke Kuta lihat sunset , Bli kemari lihat sunrise ." Wayan bicara lagi, berdetus-detus. Duduk dekatku pada kursi kayu di muka resto-pantai. Suardika sudah lenyap, bagai angin -agaknya ke resto lagi, melanjutkan rayuan pada gadis pelayan.

"Sekarang kamu ikut aneh," balasku tertawa.

" Ndak , dah . Saya juga suka sunrise ."

"Mengapa?"

" Sunset kesannya sendu. Sunrise seperti memberi semangat."

Rumusan yang bagus dari gadis 21 tahun, seusia adik bungsuku. Tetapi Wayan Cantik telah berjalan jauh dalam usia muda. Sebelum di koran kami dia kerja di hotel, pindah ke biro perjalanan. Waktu SMEA, malah SMP, dia gabung dengan grup tari, menari untuk turis asing di hotel. Tidak seenak yang terdengar. Rombongan penari itu kadang dijejalkan saja dalam truk, laiknya barang. "Tapi kalau tak begitu, mana dapat tiyang sekolah, Bli ," tutur Wayan suatu kali.

Aku pandang gadis itu; makin sayang padanya. Pipinya putih kemerahan bagai jambu air. Biasanya gadis Bali sawo matang, tapi Wayan dari dataran tinggi, kulitnya bak kulit gadis pegunungan. Seperti juga di daerahku, apalagi yang tinggal di lereng Singgalang. Dulu, sering kusiuli mereka kalau turun ke kota bawa tebu yang dikerat kecil-kecil, diletakkan di dalam panci, ditutup daun pisang. Tebu mereka manis persis penjualnya.

"Hei, kenapa Bli lihat saya seperti itu?"

"Kamu mengingatkan pada gadis- gadis kotaku. Juga adikku."

"Sudah pernah dah Bli bilang begitu."

Aku tertawa, merasa sudah berubah nyinyir serta pelupa.

"Adik Bli enak, punya kakak baik. Bisa kuliah. Bisa...."

"Kamu juga bisa, kalau mau."

" Piih , mana bisa. Lagian, saya ndak mau. Enak kerja. Biar adik saya kuliah."

Sulastra masih jeprat-jepret. Aku curiga filmnya habis. Wartawan, dan pemain drama-gong itu, hanya berakting.

"Nanti saya ke Kintamani. Bli mau dibawakan apa?"

"Eh, kamu tidak bilang mau mudik," kataku. "Kalau bilang, tak perlu ke sini, biar tidak mengantuk di jalan."

"Tidak mengantuk saya, Bli . Bli mau dibawakan apa?"

"Tak usah. Bagaimana tak mengantuk, semalam begadang. Biar nanti diantar sopir saja!"

" Ndak usah, Bli . Saya pulang sama kawan."

"Pacar?"

Wayan tertawa. "Kawan perempuan. Ktut Rini."

Acara kuakhiri, justru karena Wayan mau mudik. Tapi mataku pun mengantuk kena sinar matahari -modal yang baik buat tidur, kalau bisa hingga esok.

*

Itu terjadi setelah aku enam bulan di Denpasar. Saat itu dapat kurumuskan, yang kutakuti adalah perasaan kosong. Mulanya tidak. Bulan-bulan awal ditugaskan dari Jakarta menerbitkan kembali sebuah koran tua, kami sangat sibuk. Setelah koran terbit dan segalanya berjalan, mulai ada yang tidak beres. Nyata benar beda Denpasar dengan Jakarta. Hari panjang di Denpasar. Bak lazim di daerah, aktivitas perkantoran hingga pukul dua atau tiga. Di Denpasar juga kerap libur tidak resmi karena banyak upacara. Di Jakarta hidup menderas sampai larut malam, darah berdenyar-denyar dalam gairah, dan kita terus bergegas sebab waktu terasa sebentar.

Selanjutnya: Wayan Cantik 2