Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Keempat rekanku agaknya juga merasakan. Zarman, wakil komandan proyek, sejak awal pacaran dengan gadis Tabanan, tiap sebentar dilagakkan. "Pokoknya, gerak Astuti adalah tarian. Kedip mata, kuak bibir, lenggang saat berjalan!" Kami tertawa.

"Pak ndak cari pacar?" Dwija menggodaku.

"Asal ini!" Kutunjuk gadis berpakaian adat di sebuah foto, pada suatu upacara.

" Beh , Wayan Cantik! Dia melamar di bagian iklan!"

Kami tertawa lagi, berderai.

Macam-macam dilakukan agar bebas dari rasa hampa. Syarif, yang mengelola percetakan, total bekerja. Lubis berpantun-pantun mengedit berita: Pure Kehen Ulu Watu, adik mendehem abang rindu...Toya bungkah di Danau Batur, pipi indah diberi pupur .... Lantas tertawa atau bersorak bak orang berubah ingatan.

Arsil, komandan proyek, sibuk mengontrol ini-itu. Loncat dari rapat ke rapat, merancang proyeksi tiras, iklan, lalu kaget melihat angka-angka yang muncul. "Wah! Wah!"

"Tidak terlalu besar target iklan itu, Bli ?" tanya Wayan suatu hari, usai rapat.

Dugaan banyak orang aku jatuh cinta pada gadis itu meleset. Ia kuperhatikan, kami sering mengobrol, pergi dan makan bersama, tetapi ada sesuatu dalam dirinya membuatku jatuh sayang seolah pada adik sendiri. Juga salut, dan hormat.

" Ndak pesimis saya, Bli . Hanya, ini Denpasar."

"Upayakan semampumu," kataku. Aku juga tak percaya dia akan pesimis, atau mengeluh. Dari beberapa yang kujumpai, kulihat keluh seolah tak tercatat pada wanita Bali. Mereka tidak asing dengan kerja, seberat apa pun, sebab industri pariwisata tidak memberkahi semua orang.

"Tentu, Bli . Ini justru tantangan," kata Wayan Cantik. "Saya cuma mau bilang, belanja iklan di sini tidak sebesar Jakarta."

Lantas, ia tunjukkan api dalam dirinya. Dari tujuh pencari iklan Wayan Cantik menghimpun perolehan terbesar. Kami tercengang. Itu sekaligus menunjukkan upaya Arsil keluar dari kehampaan berbuah positif. "Hahaha!" komandan proyek itu tertawa. "Ternyata, proyeksi yang saya buat realistis juga!"

*

Aku pun menggeliat dari rasa hampa itu. Pergi dengan Wayan Cantik, Dwija, dan lainnya; jumpa banyak orang. Juga ke provinsi tetangga, saat kudengar ada bupati baru sekali seumur hidup masuk koran, ketika dilantik. Padahal, prestasinya lumayan. Kuwawancarai. Lain waktu terbang ke Timor Timur (namanya masa itu), dan kulihat pemerintah pusat menghabiskan fulus amat banyak dibanding untuk provinsi sebelah, meneguhkan keyakinan ongkos politik melebihi yang lain-lain.

Balik ke Denpasar, dua-tiga hari aku bergairah, senyum menugaskan redaktur atau wartawan. Lantas kosong kembali. Seperti gelap kala senja, rasa hampa menjalar, tahu-tahu hati dikuyupi gelita. Pernah juga kupenuhi undangan Armet, anak Minang pengelola kafe di Kuta, tapi pada kunjungan kedua aku sudah tak betah. Merasa asing, seolah tidak di Bali, tidak di Indonesia -di tengah bule, kuning, hitam, yang di mataku sengkarut-marut belaka.

Aryantha, seorang kawan Bali tertawa waktu kuceritakan. "Mau apa ke sana? Mencari Bali, ya, tidak bertemu di Kuta. Pergilah ke...," dia sebutkan banyak tempat: Desa Tenganan, Kamasan, Penglipuran....

Sebetulnya sudah dua kali kukelilingi Bali, tapi kuikuti anjuran Aryantha. Hari Minggu kuajak Wayan Cantik, Sulastra, Suardika. Pulang ke Denpasar, bergairah lagi. Setelah itu, rasa kosong muncul kembali, serupa gelung rambut perempuan dilepas. Merambat, menyungkup bahu dan pinggang.

Memang ada selingan. Misalnya, pulang ke Jakarta, menengok keluarga. Atau kunjungan kawan-kawan dari Ibu Kota. Suatu hari, malam-malam, muncul sastrawan Gerson Poyk naik sepeda, entah dari mana. Ngobrol, tertawa-tawa. Esoknya, aku beli sepeda dan bersepeda tiap pagi, sore, malam -kapan saja rasa kosong menyerangku.

Tak sampai sebulan, sepeda itu kuberikan ke office-boy , setelah aku tercampak ke selokan diserempet sepeda-motor. Di Denpasar pengendara sepeda-motor terutama yang muda-muda kelewat bersemangat. Semangat mereka tidak luntur meski sering kecelakaan, dan ibu mereka meletakkan sesajen di tempat-tempat kecelakaan terjadi.

Tetapi, semangatku lenyap bersepeda. Apalagi setelah tahu Wayan meletakkan sesajen di tempatku kecelakaan. Tanpa banyak kata namun nyata menyimpan duka, ia menemaniku ke dokter, membawakan tukang urut Banyuwangi. Ia prihatin melihatku aneh-aneh. Pernah dia tanya, mengapa keluargaku tidak dibawa ke Denpasar. "Di sini juga ada sekolah, Bli ," jawabnya waktu kubilang anak-anak masih kecil dan sekolah.

Perlakuannya membuatku makin sayang, kagum, miris. Dengan kecelakaanku, tambah banyak yang dia urus: ibu, adik-adik, ayah yang suka tajen , lantas aku -yang dianggap bli karena tidak dia miliki- yang diburu-buru rasa hampa sepanjang waktu.

Rekan-rekan berdatangan ke mes. Semua bersimpati, seolah-olah aku prajurit dari medan laga, penuh luka. Aku terharu. Maka, waktu aku sudah di Jakarta dan bom menghancurkan Legian-Kuta, banyak orang kucemaskan di Bali. Diantaranya Wayan Cantik. "Pak ndak tahu, Wayan jadi korban," suara Sulastra bergetar, saat kuhubungi lewat telepon.

Sebelumnya kudengar gadis yang cantik hati, nama, maupun wajah itu, pindah kerja lagi. Terakhir di sebuah hotel di Nusa Dua. Mengapa hari itu Wayan ke Kuta? Adiknya tiga. Satu dia kuliahkan di Yogya. Dia tiang keluarga; tiang yang lumat oleh hati dan tangan hitam manusia.

Catatan:

bli = abang

beh = bah

dah = deh, lah

tiyang = saya

piih = aduh

tajen = sabung ayam

Sebelumnya: Wayan Cantik 1