Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Ama yang Begitu Mencintai Bunga Kamboja

Cerita Pendek Achmad Munjid

Ama terlahir tidak untuk meminta. Bibirnya selalu tersenyum. Tapi matanya berkaca-kaca. Pikirannya yang gelisah tak pernah henti bertanya. Adakah hidup adalah bunga Kamboja? Tumbuh suci dalam sepi, menghias kematian yang datang menghampiri. Ia tak mengerti, mengapa hanya kesunyian yang setia menemani. Ia bertanya, tapi ayahnya begitu tenggelam di antara untaian doa dan buku-buku tua. Ia bertanya, tapi ibunya terlampau letih di tengah ladang yang kerontang, menanam setiap harapan untuknya. Tinggallah Ama yang bermain sendiri, merangkai manik-manik air mata yang berderai lepas di pangkuannya. Dan di antara batu-batu nisan, pohon bunga Kamboja itulah yang senantiasa mendekap dan mengusap-usapnya mesra.

"Kenapa orang mati tak bisa bicara?" si Ama kecil bertanya.
"Supaya mereka tidak perlu bertengkar berebut sorga," sang Kamboja menghapus butiran tangis yang meleleh di kedua pipinya.

"Kapan bulan akan mengunjungi kita?"
"Kelak, kalau kamu sudah tumbuh jadi gadis dewasa."

"Tapi, aku takut pada kenangan."
Pohon Kamboja meluruhkan lagi beberapa kuntum bunga di atas kepalanya. Kini Ama pun tersenyum, menyematkan salah satu di antara jepit rambutnya.

"Lihat, kamu secantik senja."
Ama tersipu, merona.

"Kenangan hanyalah bayangan. Ia hadir untuk mempertegas sumber cahaya. Kamu tidak perlu takut. Kegelapanlah yang selalu mengintai dan hendak menerkam kita tiba-tiba."

Si Ama menelungkupkan wajahnya dalam pelukan sang Kamboja.
"Nah, hari sudah mulai petang. Sekarang, pulanglah kamu, Ama. Kudengar doa-doa ayahmu mulai merayapi udara. Dari ladang, ibumu pun tentu segera tiba. Jangan khawatir, nanti akan kukirim setangkai bunga Kamboja yang berkelopak jingga."

"Betul?"
"Ya, akan kukirim untukmu, bersama seorang pangeran sangat tampan yang selalu berkelana menaiki kuda."

"Betulkah?"
"Ya, dalam mimpi."

Ama bergegas menuruni lereng, mengikut bayangan sendiri yang melompat ringan di atas rumputan dan batuan. Capung dan kelelawar bersilewatan, membekaskan sapuan-sapuan temaram di atas garis cakrawala yang melintang remang. Menuju suatu arah, seekor burung terbang menepi. Kepak dan cericitannya yang resah melecut sepi, mengiris langit di atas kepala Ama yang melengkung sunyi. Sepertiku, mungkin ia juga bertanya mengapa malam selalu datang begini tergesa, membuat hati cemas dan pikiran rawan, batin Ama sembari mempercepat langkah kakinya.

Jika hidup adalah bentangan cerita, bagi Ama tak ada yang lebih membahagiakan selain mempercakapkannya dengan bunga Kamboja. Setiap ia terpana oleh pendaran warna baju-baju temannya yang baru dibeli dari kota, oleh kisah-kisah megah perjalanan mereka, juga mainan ajaib aneka rupa yang takkan pernah dimilikinya, begitu saja ia menghambur sedih ke dalam dekapan sang Kamboja. Darinya ia pun segera mendengar segala dongeng purba tentang kehilangan dan luka yang penuh makna. Tentang petaka, tentang penantian, tentang risau, juga harapan yang takkan sia-sia. Berkat kesabaraan bunga Kamboja, Ama lancar pula melantunkan requiem-requiem dan serenada yang kini selalu disenandungkannya perlahan setiap malam sebelum ia terlena. Agar, lewat mimpi, sahabatnya itu tak sampai lupa mengiriminya setangkai bunga Kamboja berkelopak jingga yang diantar sang pangeran berkuda.

Suatu hari, selagi ia asyik bercerita pada bunga Kamboja tentang permusuhan ular dan burung angsa, ibunya datang menyergapnya dengan berlinang air mata. Di belakangnya, ia lihat orang-orang bergerombolan, berdiri membeku. Diam seperti batang-batang pohon pisang yang ditanam tanpa rencana. Setiap kepala tertunduk, mengitari sebuah lubang yang menganga terbuka. Yang tentu telah digali oleh tangan-tangan teramat perkasa, mungkin hingga dasar kedalaman. Ia diberi tahu bahwa yang ada di dalam tandu itu adalah ayahnya yang telah menyempurnakan segala doa dari segenap buku-buku tua. Ia menurut saja, ketika ibunya memapahnya untuk memberi salam terakhir kali pada tandu yang mengusung ayahnya itu. Sebenarnya, ingin ia berjingkrak kegirangan ketika melihat tandu ayahnya juga dihias bunga-bunga Kamboja aneka warna. Tapi, seseorang segera menarik tangan kecilnya menjauh sementara tandu itu mulai diturunkan dari pundak para pemanggulnya. Ia bertanya, tapi semua orang segera merapat mendekati lubang. Ama pun tidak bisa melihat apa-apa selain tanah yang hitam, kaki-kaki yang hitam, tatapan mata yang menghindar dan kelam. Didengarnya kemudian mulut-mulut mereka bergumam menggeremang, menggemakan suara kengerian yang merendap, yang mendesak keluar dari balik setiap dada.

Next