Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Kopi Seledri

Cerita Pendek Sandiantoro

Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?

Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam?

Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.

Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.

Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.

Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"

Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."

Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur.

Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.

Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!

Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?

Next