Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sungguh. Aku menyesal karena tidak berada di samping Mak saat detik-detik ajalnya. Seharusnya aku ke rumah sakit ketika kali pertama kakakku mengabarkan lewat HP bahwa pukul 18.30 Mak kritis. Waktu itu aku bertahan di ruang rapat, merancang kemenangan partai pada pemilu mendatang.

Aku juga bergeming di ruang rapat meski kakakku meneleponku lagi untuk kedua kalinya, dua jam kemudian. Lagi-lagi kakak mengabarkan kondisi Mak. "Jangan kau matikan HP-mu. Kalau ada apa-apa biar cepat mengabarinya," kata kakak.

"Baik," ujarku sambil mengedarkan pandang ke peserta rapat.
Dalam hati sebenarnya aku ingin berkata pada fungsionaris partai yang ikut rapat malam itu: lihatlah aku, meski ibu kandungku sakit parah pun aku masih mementingkan partai. Partai adalah segala-galanya. Hidup partai!

Saudara-saudaraku mendukung keterlibatanku di partai. Itulah sebabnya mereka memahami kalau aku tidak sempat ke rumah sakit, meski Mak kritis. Bagi keluarga, aku adalah pahlawan yang mengangkat derajat mereka. Politik telah memberi kehormatan pada keluarga kami.

(Lihat saja, beratus-ratus orang mengantarkan jenazah Mak ke kuburan, dan setelah itu seolah tiada habis-habisnya orang bertaziah ke rumah kami. Oh ya, di antara tamu itu terdapat dr Kaslan. Dia adalah dokter spesialis mata yang mendaftar menjadi Dewan Perwakilan Daerah dari provinsi kami, yang kemudian diketahui oleh tim verifikasi bahwa 13 dari 7.600 fotokopi KTP bukti dukungannya ternyata KTP orang gila).

Siapa yang tak mengenal aku, ketua Komisi D DPRD Kota A? Statemenku sering dikutip koran. Wajahku kerap muncul di TV lokal. Ketika DPRD berseteru dengan Hotel B lantaran perluasan gedungnya memakan sepadan jalan, sebagai ketua Komisi D aku nyaris menjadi pahlawan. Perintahku singkat saja pada pengelola Hotel B , "Bongkar. Titik!" Padahal pembangunan gedung sudah berlangsung 40 persen.

Seharusnya seperti itulah; kapan harus galak, tapi kapan pula harus lembek dan kompromis dengan pelanggar.

Ya, berkat politik semua biaya pengobatan Mak terlunasi. Dan benar, politik telah memberiku segala-galanya. Bukan hanya kehormatan dan harga diri, tapi juga materi. Siapa aku sebelum menjadi anggota DPRD? Hanyalah montir lepas di sebuah toko suku cadang motor. Lalu ikutan yel-yel dalam kampanye pemilu, blayer-blayer motor, arak-arakan sambil mengikat kepala dengan kain, ikut rapat, sampai akhirnya menjadi pengurus ranting. Dikejar-kejar rezim Orba, ditangkap, diinterogasi, ditahan, dilepas, dikejar-kejar, dijebak, digebuki, dilepas lagi, dikejar-kejar, dst.

Nasib baik terus berpihak kepadaku. Sampai akhirnya, ketika Orde Baru tumbang, aku naik menjadi pengurus cabang. Namaku masuk nomor jadi caleg untuk kotaku. Pemilu tahun 1999 partaiku menang, dan nasibku berubah 180 derajat.

Menjelang pemilu, dalam konfercab aku terpilih sebagai ketua cabang. Aku harus mati-matian berjuang agar dalam pemilu mendatang partaiku meraih suara terbanyak lagi. Sejengkal lagi, sejengkal lagi… ah, apa salahnya bekas montir yang bajunya berlepotan gemuk dan oli menjadi wali kota? Aku percaya bahwa nasib baik akan selalu berpihak kepadaku.

Kadang, bila membayangkan kelak aku menjadi wali kota, aku geli sendiri. Betapa tidak, pria seperti aku, dengan sisiran belahan tengah, menjadi wali kota. Ke mana-mana naik Volvo, dikawal ajudan. Aku berkantor di ruang kerja yang luas, dengan tamu yang tiada hentinya menunggu. Aku selevel dengan Kapolwil dan Danrem. Di mana-mana aku disambut secara terhormat. Aku berpidato, bertandatangan di muka umum, dan berkalung bunga.

Ribuan pegawai pemerintahan, mulai dari sekkota hingga hansip di pos parkir, manut pada perintahku --sudah pasti, dulunya di antara mereka pernah menggunakan jasaku sebagai montir. Aku pun tinggal di rumah dinas dengan penjagaan hansip. Sebagai wali kota tentunya banyak yang kuurus, mulai soal pemerintahan, kebersihan, pedagang kaki lima sampai sepak bola.

Kadang-kadang aku bercermin: pantaskah aku jadi wali kota? Pantas, jawabku. Politik adalah alat untuk meraih kekuasaan. Kalau partaiku memang menang dalam pemilu, disusul pemilihan wali kota yang bersih dari permainan uang, apa salahnya kalau kemudian aku menjadi wali kota? Jika semasa Orba, tentara (termasuk dokter tentara) selalu menjadi wali kota di Kota A, apakah di zaman reformasi ini seorang montir tidak boleh menjadi wali kota?

Next
Previous