Dewi yang karena kesucian hatinya telah menyelamatkan bulan dari tangan pemanah sakti, Hou Yi yang tak lain adalah suaminya sendiri. Syahdan cerita, ribuan tahun yang lalu pada tanggal lima belas bulan delapan Imlek, kaisar memerintahkan Hou Yi untuk memanah jatuh rembulan karena cemburu pada permaisurinya yang setiap malam purnama cerah lebih senang duduk memandang bulan daripada melayaninya. Untuk melindungi bulan dari panah sakti suaminya, Song Ngo yang mengetahui perintah rahasia sang kaisar tersebut pun rela menelan sejenis pil dari tumbuh-tumbuhan hingga tubuhnya menjadi seringan kapas dan terbang ke bulan. Karena cintanya yang begitu dalam kepada sang istri, maka Hou Yi dengan terpaksa melawan perintah kaisar. Berulang-ulang ayah senang sekali mengisahkan dongeng itu kepadaku dulu, sambil memandang rembulan yang terang benderang di teras depan rumah.
Ah, barangkali selama dua atau tiga minggu, aku akan berada lagi di rumah. Rumah tua yang dulu dibeli ayah dengan jerih payahnya selama puluhan tahun sebagai tukang jahit dan kini hanya ditunggui oleh Fuk Suk, bujangan tua kawan karib ayah. Pertama-tama, seperti biasanya yang akan kulakukan sesampai di Belinyu tentu saja berziarah ke makam ayah dan ibu di pemakaman Kung Bu Jan. Sesudah itu barangkali aku akan mengunjungi beberapa teman sekadar berkabar, juga menyaksikan ritual Lok Thung10 di pelataran kelenteng Kuto Panji, kemudian melaksanakan sembahyang bulan.
Tanggal lima belas bulan ke delapan, tinggal empat hari lagi. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menata kue-kue bulan di atas meja sembahyang, membakar hio, dan duduk di teras rumah dengan secangkir teh pahit sambil menikmati keindahan purnama Pat Ngiat Pan. Siapa tahu Song Ngo muncul bersama ibu, menaburkan kembang setaman �batinku getir.
Aku kembali memandang asap hio yang meliuk-liuk liar dibawa angin malam seperti seekor naga yang nakal itu. Seolah-olah mengajakku menari seperti waktu kecil, di mana aku selalu berjingkrak-jingkrak setiap kali melihat asap hio yang meliuk-liuk pada saat sembahyang bulan digelar di halaman rumah. Biasanya ayah akan menegurku: "Duduklah yang tenang Jong, kalau ingin melihat Song Ngo dan ibumu!" Maka aku pun terdiam, duduk memeluk lutut di teras sambil memandang bulan, dengan sesekali melirik berbagai jenis kue bulan, buah-buahan segar, batang tebu, kembang tujuh rupa, tiga sloki teh, kelapa muda, bedak, sisir, cermin dan lain-lainnya yang diletakkan sebagai sesajian di atas meja sembahyang. Kemudian perlahan-lahan harum hio akan mulai merasuki pernafasanku, membuatku serasa melayang-layang. Kadang-kadang aku menumpang awan seperti Sun Go Kong, adakalanya pula aku duduk di punggung seekor naga. Hanya ketika itulah aku dapat mendengar lagi suara ibu yang begitu merdu menembangkan pantun-pantun di samping tempat tidurku. Tetapi hal ini tidak pernah berlangsung lama, sesaat kemudian aku sudah menemukan diri kembali di hadapan meja sembahyang. Dengan embun yang turun perlahan mengusap sesajian yang tergelar di atas meja dan batang-batang hio yang semakin pendek dengan abu berjatuhan.
Langit begitu bersih tanpa awan. Sejauh mata memandang, hanya bintang-bintang yang berkerlap-kerlip dan purnama lima belas Imlek yang tergantung di atas langit bagaikan lampion. Bulan yang begitu jernih dan terang. Mungkinkah kali ini aku dapat melihat Song Ngo muncul melayang-layang diiringi ibu dengan keranjang penuh kembang-kembang? Lagi-lagi pikiran liar itu membuatku kecut sendiri. Pikiran kanak-kanak yang membatu abadi. Ai!
"Ibumu menjadi dayang Song Ngo di bulan, Jong," desis ayah sambil menatap purnama. Dimainkannya rokok kretek di tangannya berputar-putar, lalu dihisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya yang pekat ke udara. Asap itu meliuk-liuk naik seperti gumpalan asap hio. Tinggi membubung hingga hilang pandang. Menyampaikan pesan dari alam mayapada.
"Setiap kali kita sembahyang dan mengucapkan doa, asap hio akan mengantarkan doa kita kepada Thian, para dewata, dan orang yang kita tuju," ujar ayah penuh keyakinan. Karena itu aku harus berdoa dengan khusyuk, penuh takzim agar para bidadari dan dewata mau berbalas tabik. Memberikan berkah perlindungan dan rezeki semusim. Tapi sebagai anak nakal, setiap kali berdoa bersama ayah di depan meja sembahyang, diam-diam aku suka mengintipnya. Melihat bagaimana kekhusyukannya mengangkat hio di depan wajah dengan sepasang mata terpejam rapat sementara bibirnya berkomat-kamit mengucap doa untuk ibu.