Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

"Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.
"Hm, menurutku ironis!" sahutku.
Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang. Tawa panjangnya memenuhi ruangan café, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di sepanjang lorong hatiku.
"Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau dan aku."
"Kita?"
"Ya. Kita. Kau dan aku."
"Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.
"Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."
"Hah?"

"Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di café. Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu. Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."

"Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cuma halusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."
"Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."
"Deja-vu?!" seruku tidak percaya.
"Kau siapa?" aku masih bertanya.
"Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."
"Aku siapa?" tanyaku lagi.
"Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita."
"Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu. Sekarang kita ber-deja-vu?"
"Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunia lain.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?"
"Bagaimana dengan perempuanmu?"
"Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."
Dia tertawa manis. "Dasar kucing."
"Meonggg…," sahutku.

Lagi-lagi ia tertawa. "Hai, alangkah baiknya kalau perempuan tidak lagi menyumpahi laki-laki dengan kata-kata 'anjing kau!'. Bukankah semestinya perempuan menyumpahi laki-laki dengan kata-kata 'kucing kau!'. Bagaimana menurutmu?"
"Meonggg…," sahutku lagi mengeong seperti seekor kucing yang sedang birahi.
"Kamu birahi ya? Horny, darling?"
"Meonggg…"

Aku menariknya ke dalam pelukanku di dalam angan-angan.
Dan aku orgasme ketika menyelesaikannya di dalam sebuah tulisan.
Akhirnya aku beranjak menuju kamar mandi untuk melakukan ritual perempuanku; mencuci tangan, kaki, muka dan menggosok gigi. Bah!
Ketika selesai kubasuh wajahku, aku tengadah melihat pantulan diriku di cermin di atas toilet.
Olala!
Aku separuh perempuan, separuh laki-laki.
Astaga!
Wajahku separuh anjing , separuh kucing.
Alamak!
Aku separuh menggonggong , separuh mengeong.
Ber-deja-vu-kah aku?
Surabaya , 2004

Previous