Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Stasiun kelima terlewati. Hari mulai menua. Cahaya sore sudah mengintip jendela. Masih dua stasiun lagi harus disinggahi kereta butut ini. Kucoba tidur. Mataku sudah tertutup rapat. Tapi dalam kelopak itu kudapati wajahnya. Seringkali aku bertanya, mengapa ia masih sering datang padaku dalam bentuk serupa itu? Noy mulai gelisah. Ia berjalan hilir mudik menunggu stasiun terakhir.

Harmonika telah benar-benar berhenti. Namun suara gendang makin menggila. Orang-orang ikut bernyanyi mengikuti iramanya. Beberapa sambil menari. Goyangan kereta membuat mereka tertawa-tawa. Menertawakan ketidakmampuan mereka membayar karcis eksekutif, menertawakan kemauan mereka dijejalkan dalam gerbong pengab. Peserta tarian kian bertambah jumlahnya, dimulai sepasang dua pasang kaki, akhirnya seluruh penghuni gerbong menari dalam iringan suara gendang, kecuali aku dan Noy.

Dalam hiruk-pikuk itulah aku membuka lipatan kertas lusuh dari kantongku. Surat ini dikirimkan beberapa minggu lalu, dialamatkan ke kantor. Sudah berkali-kali kubaca, untuk memahami artinya. Istriku hampir memergokinya, tapi sebagai laki-laki aku dibekali 1001 alasan untuk berdalih.

"Ini pasti surat cinta!" ia memekik-mekik.
"Asumsi perempuan seringkali salah dalam menilai sesuatu," jawabku kalem.
"Aku istrimu. Aku berhak tahu apa yang kau simpan."
"Sejak dulu sudah kukatakan, sekalipun suami istri, kita harus punya wilayah pribadi yang harus dihargai pasangannya."
"Kau merahasiakan sesuatu dariku?"
"Semua orang perlu memiliki rahasia. Kalau tidak, kita telanjang di mana-mana."
"Apakah ini soal wanita?" Ia akan mulai terisak.
"Lelaki memiliki banyak hal untuk dirahasiakan, selama kau berpikir rahasia pria adalah wanita, kau akan menderita selamanya."
Perselisihan hari itu selesai. Dessert yang manis adalah memeluknya, menghapus air mata betinanya, lalu bercinta.
Sementara Noy hilir-mudik menenangkan diri, aku membuka lipatan surat ini dan membacanya untuk ke-17 kali.

Café Periplus jam 11.20 siang (Dalam harapan yang sia-sia di siang bolong).
Sejak kemarin sesungguhnya pikiranku sadar kau tak mungkin datang, tetapi hatiku. Dia bersikeras menunggumu di Jogja ini. Sedangkan aku tahu istrimu hamil tua. Tetapi alasan menjumpai penerbit seperti usulanku, tidakkah cukup mengelabuhinya?

Semalaman aku tidur dalam gelisah. Pendingin ruangan hotel Sosrowijayan tak mampu meredam gerahku. Sudah aku tongkrongi dirimu di warnet itu selama dua jam. Tapi namamu tak jua mencuat di Yahoo Massanger atapun Mirc. Sudah dua kali pula kulayangkan email selama dua jam itu. Jawabanmu nihil. Satu-satunya email darimu dalam bulan ini kuterima seminggu lalu. Isinya singkat: istriku hamil tujuh bulan, anak ke tiga. Aku tak mungkin meninggalkannya."

Namun tetap saja kulayangkan kalimat lagi: "Aku di kamar 217 Hotel Sosrowijayan." Naluriku mengatakan kau membaca emailku. Aku tahu kau ingin pergi. Aku tahu sedalam apa rasamu kepadaku. Tapi mungkin, istrimu wanita luar biasa yang mengantongi sejuta jimat Semar mesem, maka kau selalu berada di bawah ketiaknya. Kalau begitu kau adalah suami DKI.
Kenapa kau tak bernyali menemuiku? Bukankah aku pacar pertamamu? Kenapa kau tak berani selingkuh dengan mantan pacarmu? Paling-paling aku hanya perlu semalam dua malam denganmu. Terlalu sedikit jika dibandingkan dengan delapan tahun sejak kau jadi suaminya.

Tadi malam aku membayangkan dirimu memelukku. Aroma nafasmu, ketiakmu (yang mengandung sedikit amoniak kejantanan) serta bagian-bagian lain yang kukenal, memancing penderitaan cukup kuat. Bibirku terus-menerus memanggilmu. Harapku kaulah yang pagi tadi mengetok pintu kamar, ternyata cuma petugas hotel yang megirim secangkir kopi susu dan sebongkah omelet. Aku melahapnya juga. Anggap saja sebagai substitusi energi yang kugunakan dalam "pendakian" sendiri tadi malam. Dalam diam dan hening kuhirup ruap sedapnya kopi susu dan omelet ini, lalu aku menyiram tubuhku dalam hangat shower sambil membayangkan dirimu. Berikutnya aku mematut diri dalam cermin sembari menyadari kerja usia yang sempurna memahat kerut-merut pada seluruh bagian tubuhku. Waktu begitu kejam merenggut segala yang ada, sebelum aku dapat melakukan sesuatu, tiba-tiba saja terasa tepian batas itu sudah kian dekat.

Di café ini aku mencoba berandai-andai. Kau datang melongok rak-rak berisi buku asing itu. Kemudian menoleh ke arahku, kita berpagutan di sini tanpa peduli bahwa ini masih di Indonesia. Anggap saja ini Venesia, tempat kita pertama kali rendevouz . Tetapi di café ini hanya ada laki-laki bule, sama sekali tak identik dengan kulitmu yang nyaris legam serta nafas beraroma tembakau Virginia.
Baiklah Yon, sekarang kegelisahanku hampir sirna. Kakiku sudah mampu bergoyang bersama lagu "Girl from Ipanema" yang dimainkan pria sipit dengan grand pianonya di sudut sana. Kesia-siaan ini bukanlah tanpa alasan. Bukankah kita harus mengejar setiap mimpi yang kita genggam? Aku telah melakukannya dengan sempurna. Dan kini terasa betapa indahnya pengejaran itu.

Next
Previous