Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.
Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.
Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.
Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.
"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."
"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."
"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."
"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."
"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."
"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."
"Innalillaahi…"
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.
Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.
Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."
Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.
Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta , ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.
Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.
"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.
"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe… ingetan kamu masih bagus, Man."
Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.