Hari itu adalah hari ketiga dia "bekerja" di rumah si pengirim surat. Dan bahkan sampai hari ketiga itu pun, dia tak tahu siapa si pengirim surat. Dia hanya berhubungan dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai "pembantu" si tuan rumah. Dan si "pembantu" itu pun enggan menyebutkan namanya. Laki-laki kurus itu tak keberatan. Apalah artinya dia mengetahui nama seseorang, jika hal itu tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Bukankah dunia tempat dia hidup sudah memberinya semacam ekosistem seperti itu?
Seperti dua hari sebelumnya, dia duduk dan menunggu reaksi orang yang ditungguinya. Yang ditungguinya itu adalah seorang gadis muda, jelita, namun gila. Begitulah si "pembantu" bos besar itu mengatakannya dua hari yang lalu.
"Lalu, apa hubungannya dengan saya? Kalau dia gila, bawa saja ke rumah sakit gila..."
"Sudah. Dokter mengatakan bahwa dia tidak apa-apa."
"Kok, aneh? Kok, situ bisa mengatakan bahwa dia gila?"
"Ayahnya sendiri yang mengatakan begitu. Saya cuma meneruskan ucapannya kepada Anda."
"Terus, apa saya ini dianggap dukun?"
"Saya tidak tahu, Anda dukun atau bukan. Yang penting, Sampean diminta untuk mengupayakan agar dia sembuh. Begitu kata bos."
Laki-laki itu sebetulnya tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap gadis cantik yang katanya gila itu. Dia hanya duduk dan menatapnya.
Ditatapnya sepasang bola mata yang bening namun kosong itu. Tak ada siapa-siapa di dalam bola mata itu. Gadis itu sendiri seperti telah pergi, atau mengembara ke negeri jauh, entah apa namanya.
Ini sudah hari yang ketiga. Dan laki-laki itu sendiri sudah putus asa menghadapi sesuatu yang tak jelas ini. Dia ingin mengatakan kepada si "pembantu" bos bahwa dia menyerah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya batal mengatakan maksudnya.
Secara iseng, laki-laki itu kemudian mengambil sebuah patung kuda perunggu, yang memang bagus. Diperkirakannya, itu buatan Italia. Detil pada surai, bahkan pada bungkah otot-ototnya membuat kuda perunggu itu tampak bernyawa.
"Haha... apa kabar tuan putriku? Apakah hari ini tuan putri siap berjalan-jalan?" ucapnya sambil memainkan kuda yang hanya segenggaman tangan itu. Kuda itu digerak-gerakkannya di depan wajah si gadis.
Si "pembantu" hanya mendesah. Di benaknya hanya ada satu ungkapan "gila ternyata menular".
"Kita akan membelah awan. Tahukah tuanku bahwa awan sesungguhnya adalah sebuah daratan di langit. Dia tergantung, dan tidak terdiri dari tanah dan batu. Seluruh pohon, bahkan air yang ada di sana, adalah kabut putih yang indah. Dan manakala matahari bersinar, pohon-pohon di negeri awan itu akan tembus, laksana kristal."
"Bawa aku."
"Ten...tu, tentu." Tiba-tiba si laki-laki tercekat mendengar ucapan itu. Dia seperti tak menyangka bahwa itu diucapkan si gadis.
Si "pembantu" bos pun agaknya juga terheran-heran. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun, gadis itu "pergi" dari tubuhnya, mendadak kembali hanya karena bualan si laki-laki. Dia segera menelepon bosnya melalui hp.
Sementara itu, laki-laki kurus itu seperti melihat ada cahaya kehidupan di bola mata bening itu. Dia berhati-hati mengutarakan keindahan yang dikhayalkannya. Dan untuk beberapa kali, dia sempat menyaksikan senyum kecil tersungging di sudut bibir gadis cantik itu.
"Kau harus membawaku ke sana."
"Baik. Apakah tuan putri ingin naik ke punggungku?"
"Apakah kau bisa terbang?"
"Bisa. Lihat?" Laki-laki itu mengangkat kuda perunggu itu tinggi-tinggi melampaui kepalanya sendiri.
Si gadis tertawa kecil, matanya mengikuti ke mana pun gerak tangan si laki-laki terarah. Dan ketika si laki-laki pura-pura menjatuhkan kuda perunggu itu, si gadis terpekik dan tertawa senang.
Gunung es itu telah cair dan laki-laki itu seakan menemukan beranda rumahnya terang benderang. Mawar yang ada di pot kecil di beranda itu seakan berkembang dan mengharum.
Seminggu kemudian, gadis itu mau berdandan dan mengajak laki-laki itu berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Dia dengan manjanya merangkul lengan laki-laki itu. Dan tentu saja, laki-laki itu menjadi muda kembali --meskipun usianya belumlah setua wajahnya.