Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Seorang Hujan

Cerita Pendek Afrizal Malna

Aku ingin hidup dalam tubuh seseorang, dalam kenyataan orang lain. Aku tahu itu tidak mungkin. Aku tahu itu sebuah dusta yang berusaha aku buat untuk diriku sendiri. Dusta murahan yang membuat manusia menjadi bahan olok-olok di dapur rumahnya sendiri. Suara panci, piring, gelas dan sendok yang menjadi gaduh.

Tapi aku terus memikirkannya. Berhari-hari. Aku merasa keinginan itu seharusnya bisa aku lakukan. Mustahil aku tak bisa melakukannya. Aku membayangkan perpindahan seperti itu sesuatu yang seharusnya bisa dimiliki siapapun. Aku membayangkan tubuh itu tidak beda jauh saat aku menyalakan lampu listrik. Cahaya tiba-tiba hidup di dalam tabung kaca. Ketika listrik aku matikan, cahaya itu juga ikut mati. Ia tidak berjalan keluar dari tabung kaca itu. Tapi mati. Padam. Darah bisa keluar dari tubuhku, keringat juga bisa menetes. Aku memikirkannya hingga musim hujan datang. Dan semua tentang pikiran itu berubah, saat hujan pertama betul-betul datang, turun di halaman rumah.

Aku menatapnya dari balik jendela kaca. Tiba-tiba hujan itu membuka pintu rumahku. Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu. Tubuhnya seperti gumpalan awan berwarna hitam legam. Ada suara halus yang terdengar dari dalam gumpalan awan hitam itu, seperti suara pesawat yang berbunyi konstan. Sejak itu aku mulai bersahabat dengannya. Aku memanggilnya hujan di pagi hari.

Pagi itu aku sedang berjalan bergandengan bersama hujan. Udara dingin. Angin membuat tirai dari air hujan, tipis, seperti ciuman di leher menjelang bangun tidur di pagi hari.

"Sudah lama aku menunggumu di lembah itu," kataku. Hujan tak menjawab. Ia menggenggam tanganku seperti merasakan detak waktu yang bergerak. "Manusia tidak menarik karena ia bisa menghitung waktu," katanya. Aku memandangnya. Wajahnya bersih. Rambutnya tersisir rapi. Rapi, seperti rajutan yang terbuat dari air.

"Aku tahu waktu tidak pernah bisa menyentuh dirimu," kataku. "Kamu tidak pernah tua. Kamu selalu baru. Kamu tidak mengenal tubuh yang tumbuh menjadi dewasa, lalu tua, sakit dan mati. Kamu tidak pernah merasakan sakit, terluka, dan kesepian." Hujan lalu membelah dirinya dengan belahan-belahan yang berulang. Cahaya biru yang tipis memancar pada setiap terjadinya pertemuan antarbelahan itu.

"Ini hari yang istimewa untukmu juga untukku sendiri," katanya. "Aku datang 5 mil untuk menemuimu pagi ini, berlari menuruni lembah, menerjang hutan bambu dan mematahkan sebuah jembatan di sebuah sungai yang airnya deras dan berbatu-batu."

"Di musim bunga tahun lalu, ketika kupu-kupu hampir setiap pagi membuat tarian di lembah itu, dan cahaya matahari seperti sedang menciptakan tubuhku dari daun-daun kacang di lembah itu, aku sangat berharap kamu datang di lembah itu. Tapi kemudian aku sadar, kamu tidak mungkin menemuiku. Aku juga tidak mungkin menemuimu. Sudah kodratnya begitu. Kita saling berpapasan, tapi tidak pernah saling mengenali."

"Kenapa kamu terkunci dalam bahasa seperti itu, seakan-akan kamu percaya ada yang tidak bisa saling menyentuh, ada yang tak bisa saling mengenal di dunia ini?" tanyanya. "Kita tidak pernah bisa saling bertemu karena kamu punya kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang sia-sia.

Ketika kami menuruni batu-batu berkapur, hujan merembes ke dalam batu-batu berkapur itu, lalu mengucur kembali lewat batu-batu kerikil. Aku takjub melihat hujan yang bisa merembes. Aku takjub melihat hujan yang membuar arsitektur dari air. Dia yang telah membuat ruang menari. Dia yang telah memberi bentuk mati menjadi bentuk yang bergerak. Dia yang menghidupkan dan mengajak bermain kembali dengan memori-memori lama. Dia yang merajut kembali semua peristiwa dan lalu membiarkan kembali semua rajutan itu merembes ke dalam tanah sebagai air, melewati akar-akar rumput dan senyap. Dia yang memiliki keindahan yang tak tergantikan dan tak siapapun bisa memilikinya.

Next