Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Gampong

Cerita Pendek Arafat Nur

Sayup-sayup terdengar kumandang azan Ashar dari masjid tua di perkampungan kumuh itu. Suara yang tak punya fariasi dan menonon terdengar setiap masuk waktu shalat. Suara siapa lagi, kalau bukan suara Pak Imam masjid itu, yang semua giginya telah tiada. Namun, tak seorang pendengar pun tergugah atas panggilan shalat itu. Kecuali, dua tiga orang tua yang menjadi jamaah tetap di sana.

Memang telah demikian keadaan masyarakat di kampung itu dari waktu ke waktu. Nyaris tak ada perubahan. Kecuali, bangunannya yang semakin mengkhawatirkan. Dinding papannya sudah lapuk dimakan rayap. Beberapa papan telah terlepas dari tiang. Atap sengnya pun telah banyak yang bocor, sehingga tiap kali turun hujan, air menggenangi lantai. Namun, tak seorang pun peduli, kecuali, Pak Imam tua itu.

Seketika orang-orang dikejutkan sebuah jeritan histeris dari sebuah rumah gubuk yang tidak berapa jauh dari masjid tua itu. Jeritan itu tangisan seorang perempuan yang merintih histeris. Spontana, ibu-ibu tersentak oleh suara itu, lalu meninggalkan kegiatannya dan berhamburan ke sana.

Tak lama kemudian kerumunan orang telah memadati pintu rumah Bang Lan. Mereka tampak bengong menyaksikan peristiwa di depan mata. Kak Minah, isteri Bang Lan, sedang menangis meronta-ronta sambil menjambak rambutnya sendiri.

Beberapa perempuan menghampirinya, coba untuk menenangkannya.

"Lho, ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Kak Lela. Yang ditanya terus saja menangis walaupun sudah sedikit mereda.

"Apa kau dipukul suamimu?" tanya yang lain.
Kak Minah menggeleng sambil terus terisak-isak.

"Suamimu ditangkap polisi?"
Dia tetap menggeleng.

"Lho, jadi kenapa?" tanya yang lainnya, mulai jengkel.

"Suamiku hilang!" jawabnya masih terisak.

"Hilang? Hilang ke mana?"

"Dia pergi enggak bilang-bilang."

"Lho, bukankah suamimu kalau pergi memang tak pernah bilang-bilang,"
kata Kak Lela.

"Dia dibawa lari Ina, lonte itu!" perempuan itu mulai menangis lagi.

Orang-orang mulai paham kejadian itu. Lelaki yang dipanggil Bang Lan itu memang sering singgah ke rumah perempuan cantik bernama Ina yang tinggal bersama Bego anak janda Ina yang lahir tanpa nikah.

Lelaki itu memang pernah beberapa kali dipergoki orang-orang kampung ketika lagi berduaan. Dan, kabar itupun cepat sekali tersebar dari mulut-mulut perempuan-perempuan hingga sampai ke telinga Kak Minah.

"Awas, akan kubunuh lonte itu!" teriak Kak Minah geram. "Akan kucincang-cincang dagingnya. Kukasihkan untuk anjing. Dasar lonte tak tahu diri!" "Sudah, sudah! Ngucap kamu, ngucap, Dik!" sergah Kak Lela.

"Sabar, Sabar. Orang sabar disayang Tuhan," kata Kak Rabiah yang tak pernah menyentuh sajadah.

Ketika suasana mulai tenang, orang-orang mulai berpencar. Mereka pulang tanpa pamit. Sementara, Kak Lela dan Kak Rabiah masih tinggal di sana, menenangkan Kak Minah. Tentu saja dengan nasehat dan petuah-petuah agama yang menyejukkan walaupun mereka tidak pernah sembahyang.

Saat itu Bego sedang bermain mobil-mobilan kaleng susu di halaman rumahnya. Sebenarnya dia bernama Muharram, tapi karena pembawaannya yang tidak sempurna dan sikapnya yang seperti orang bodoh, anak-anak sebayanya memanggilnya Bego. Bego memang tidak pernah peduli dengan panggilannya itu. Sejak kehadirannya di dunia, dia sudah dikucilkan masyarakat dan anak-anak sebayanya. Sering mendapat cemooh dan gunjingan dari para tetangga, tapi dia juga tidak peduli, malah membuatnya menjadi anak nakal dan bandel.

Next