Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Mas Kadi menghela napas. Mengapa dia harus mau 'kalah' dalam hidupnya malam ini. Bukankah pembunuhan atas Wisrawa lantaran pertapa tua itu (yang adalah ayahnya sendiri) menikmati ranumnya Dewi Sukesi—dara yang seharusnya menjadi istri Danaraja? Sebagai raja besar, Danaraja 'kalah' oleh kehebatan ayahnya sendiri. Mengapa dia tak berani melamar Sukesi dengan kekuatannya sendiri? Mengapa dia masih meminta bantuan ayahnya yang renta? Ketika Rahwana lahir dari rahim Sukesi dan menuntut balas atas kematian ayahnya, Danaraja harus berperang melawan Rahwana dan …ah, petaka seperti sudah dirangkaikan kepadanya.

Selalu kalah. Tetapi kapankah dirinya pernah menang dalam hidup ini?

Mungkin ada, mungkin ada….

Rahwana merangsek kerajaan Lokapala. Pasukannya menggempur habis kerajaan besar itu. Raksasa Alengka melawan raksasa Lokapala. Kematian di kedua pihak tak terhitung. Giman jadi raksasa pikun, ketika perang lupa, mana musuh mana kawan. Penonton terbahak, bahkan ada yang terkentut-kentut. Penonton tak peduli apakah Giman sedang berperan atau benar-benar lupa. Yang disajikan menuntut gelak tawa, itu saja.

Danaraja terpaku di belakang pengerek layar. Disaksikannya Begawan Wisnungkara, seorang pertapa raksasa dari Lokapala, mati ditebas pedang Rahwana. Wisnungkara, raksasa hitam, kerabat Batara Wisnu yang membimbing bangsa Asura dalam hal kemanusiaan, telah mati. Kemanusiaan telah mati. Apakah Danaraja membiarkan keadaan ini?

Kerajaan Lokapala diselimuti kabut. Gesekan rebab mengalunkan tlutur membalur suasana hati Danaraja. Penonton terdiam. Mereka seakan menyaksikan sosok manusia menghadapi sakaratul maut, yang sesaat lagi akan merenggut nyawa.

”Danaraja, kakakku, tentu kau tahu kedatanganku?”

”Rahwana, apakah kau pikir aku akan menyerahkan begitu saja nyawaku kepadamu?”

”Lokapala hancur. Buka matamu, Danaraja.”

”Pandang aku baik-baik, Rahwana. Danaraja adalah raja besar, bahkan jauh sebelum kau dilahirkan. Ingatlah, kau dilahirkan oleh keserakahan dan nafsu manusia ….” Mas Kadi tersengal-sengal, kepalanya mendenyut. Danaraja tak boleh mati. Rahwana harus mati. Tak boleh ada orang lain yang menggantikan Rahwana.

”Akulah raja besar itu, Rahwana. Kau hanyalah anak dari seorang perempuan yang gampang telanjang di hadapan laki-laki. Kau adalah anak yang tak seharusnya lahir. Kau….”

Rahwana terbengong-bengong. Penonton gelisah. Ki Purwo tercekat, dan belum lagi dia memukul kotak sebagai tanda dimulainya iringan sampak, Danaraja sudah menyerang Rahwana. Penabuh gamelan sesaat bingung, namun segera membunyikan gamelan tanpa komando sang dalang.

Seharusnya, perang tanding itu diiringi Kembang Kapas; sebuah gending mencekam dan terasa pedih. Karena bukankah mereka adalah saudara seayah? Tetapi semua menjadi lain. Tak ada yang mampu mengubah apa yang begitu saja terjadi di panggung. Tak ada yang bisa mengulangi adegan di panggung yang sedang berlangsung. Maka, bahkan sang dalang sendiri tak tahu ke mana alur cerita berjalan.

Danaraja berhasil merebut pedang Rahwana dan bahkan nyaris menikamkannya ke tubuh raja Alengka itu. Rahwana berkelit dan melompat ke dalam. Layar turun. Gamelan bertalu-talu.

Layar dibuka buru-buru, para dewa berkumpul. Seharusnya mereka membicarakan sukma Danaraja yang akan diberi tugas menjaga Kembang Dewaretna. Akan tetapi, mereka bingung, karena yang berlari melintas dengan tiba-tiba tanpa iringan gamelan adalah Rahwana. Lebih terkejut lagi, karena mereka menyaksikan Danaraja mengejar dengan pedang terhunus.

”Akan kau sembunyikan di mana dia? Dia harus mati di tanganku. Akulah yang paling berkuasa saat ini!”

Narada bingung, bisik-bisik kepada Batara Guru bahwa itu adalah dialog yang seharusnya diucapkan Rahwana, bukan Danaraja.

Namun penonton bersorak girang, bersuit-suit menandakan senang. Danaraja menjadi Rahwana. Mereka mendapatkan tokoh idola mereka muncul sebagai Rahwana yang berpakaian Danaraja. Siapa peduli Mas Kadi adalah Rahwana sejati meski dia mengenakan pakaian Danaraja.

”Aku Danaraja, tak menghendaki Rahwana. Dia harus mati di tanganku. Yang Mulia Batara Guru, aku ingin mendengar sabdamu,” tantang Danaraja.

Penonton terdiam. Semua beku, tak terkecuali Batara Guru.

”Kalian hanya diam ketika menyaksikan kelaliman merajalela. Kalian bersembunyi di balik nasib lakon manusia, sementara kalian menuntut kepatuhan manusia. Aku Danaraja. Aku Danapati, menuntut kalian untuk turun takhta.”

Penonton bersorak, seakan baru menyadari telah menemukan sesuatu yang selama ini mereka cari.

Sunyi sekali malam ini. Hanya bau busuk kali mampet di belakang panggung, menebar mengisi kelengangan malam. Mas Kadi masih duduk, dengan pakaian Danaraja namun tanpa mahkota, dengan sebatang keretek di tangannya. Dia tak bisa lagi merasakan apa-apa. Dia menjadi Danaraja yang Rahwana dan memenangi peperangan. Dia sendiri tak tahu mengapa keinginannya menjadi Rahwana, yang tadi meluap-luap, ketika di hadapan 'para dewa' berubah menjadi sesuatu yang tak dia kehendaki. Entah mengapa dia hanya merasakan kesunyian kian menganga. Inikah perasaan menang yang selama ini diimpikannya? Tepuk tangan dan kepuasan penonton memang sempat membuatnya terlambung, namun setelah itu hanya kesunyian yang setia menemaninya.

Mungkin saat ini dia sudah menjelma menjadi penjaga Kembang Dewaretna, kuntum bunga yang menjaga kehidupan para kera. Mungkinkah ini lakon yang harus dilakoninya? ***

Pinang , 982

Previous