Aku hampir tidak percaya kalau di senja itu dia benar-benar muncul dengan wajah yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dia seperti hujan yang membuatku menghijau setelah kemarau berkepanjangan. Hujan itu juga yang pertama kali mengajakku berbicara, memahami kesakitanku, dan menertawai keanehanku, dengan caranya yang tak pernah kukenal sebelumnya.
Dari remang cahaya lampu di depanku, aku tidak bisa melihat pemilik wajah itu dengan jelas, tapi angin begitu sempurna menyampaikan gelombang napasnya. Sekujur tubuhku gemetar lagi (sebenarnya aku tak pantas berkata lagi karena ini adalah yang pertama kali).
Bibirku begitu kelu untuk sekedar memberi senyum, walau tidak sulit menyatukan bayangannya dalam sarafku. Akhirnya, kami hanya berbincang tentang sepatu yang lusuh karena ia telah lama menjelajah dan tak bisa beristirahat barang sebentar pun.
***
Matanya ditumbuhi tunas-tunas impian, serupa nadi ia menjalar di setiap bagian tubuhku.
Aku tidak pernah ingat bagaimana rasa dingin itu tiba-tiba menjalari ujung kakiku, perlahan sampai di kepala. Dan entah apa pula yang ada di matanya hingga tidak kusadari kepalaku telah mampir di bahunya, memejamkan mata dan mendengarkan ia berceloteh tentang perjalanan dan cita-citanya.
Ada sebuah pintu yang terbuka ketika dia memberikan senyum. Pintu yang belum pernah kubuka karena aku takut badai akan merobohkan dindingnya yang lapuk.
***
Pria berwajah kembang gula itu juga menutup tubuhnya dengan sayap. Malam itu dia mengajakku terbang ke langit dan mengambil kembang gula, aku turun ke bumi dengan muka berseri.
Sepanjang perjalanan aku memandang bulan purnama yang menempelkan bayanganya di kaca bus. Tapi, tidak sepenuhnya bulan itu melekat pada mataku karena aku hanya berusaha mengalihkan perhatian dari senyummu.
***
Pria berwajah kembang gula itu menanyakan namaku. Kukatakan cari tahu saja dari piring-piring kotor, buku-buku yang berserakan, dan seprai-seprai yang menggeliat karena tidak sempat kubereskan atau kupanaskan di setrikaan. Dia menanyakan di mana rumahku. Kukatakan, perhatikan saja danau yang ada di ceruk lembah, kau renungi pusaran-pusarannya, dan kau akan tahu kisahku yang telah berlumut di dasarnya.
Dia menanyakan ayah dan ibuku. Kukatakan, tanya saja ke padi, cangkul bertanah, bekas perapian di samping dangau, dan cuaca yang selalu terik.
Tapi, pertemuan dengan seribu lilin itu akhirnya berakhir, seiring dengan luruhnya lilin maka gelap pun kembali menggerayangiku. Aku sudah menduga ketika lilin itu habis, maka kau pun akan pergi karena tidak tahan dengan gelap.
***
"Kita pasti akan bertemu lagi," katamu menatap mataku. Akh, apa kau bisa tahu, kalau aku merasakan bahwa tidak ada lagi pertemuan selanjutnya untuk kita. Ketika aku memandang matamu, aku menemukan samudera dengan ombak yang ganas. Aku selalu memandang dari daratan. Tapi, itu sebelum karung-karung pasir itu kau tumpuk menjadi pagar. Sejak itu kau lakukan mataku jadi terhalang dan tidak bisa melihat apa-apa. Aku hanya bisa mendengar desirannya, tanpa melihat ia bermain atau bergurau.
Melihatmu pergi sama halnya melepas semua hal yang pernah aku miliki, hilang lenyap menjadi asap putih pekat yang perih, diembus angin ke segala arah.
***
Suatu hari aku melihat gula-gula itu dijual di taman kota. Anak-anak merubunginya dengan tawanya yang khas mereka, tapi kulihat seorang anak dengan kursi rodanya, bergegas ingin menyusul temannya, tapi gula-gula itu telanjur habis, dan penjual gula-gula nyengir dan berlalu dengan puas karena dagangannya telah habis. Gadis kecil itu menangis Bu, aku sungguh tidak tega melihatnya. Dengan berat hati kuberikan sayapku padanya, dan kubiarkan ia terbang mencari gula-gula di awan. Maafkan aku bu, aku tidak bisa lagi terbang untuk mencari kembang gula, dan membaginya denganmu. Aku memang gula-gulamu Ibu, tapi tanpa sayap darimu aku tidak bisa melindungi diriku dari panas, dan akhirnya aku meleleh.
***
Berhari lamanya kebiasaan baru itu kulakukan. Memandang kotak pos di depan rumah. Sekali-sekali kubuka kotak itu, siapa tahu ada surat masuk dan aku tidak mengetahuinya. Tapi, hanya ada bau karat yang membersit di hidung. Ada juga sebaris semut yang mengerumuni kecoak mati. Dan beberapa helai lembaran daun kering itu telah sepakat menggantikan sepucuk surat yang tak kunjung datang.
Ternyata benar, tidak ada yang pasti pada tubuh perempuan ini.
***