Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Maka mulailah setiap hari mereka menyisihkan uang untuk mengangsur membenahi rumah kecil itu. Kalan menyisakan waktunya. Pulang ngojek lebih cepat dari waktu biasa. Mengerjakan sendiri semua perbaikan rumah daripada mengeluarkan upah. Atap yang bocor mulai diperbaiki. Dinding-dinding yang bolong ditutup. Dapur diperlayak. Kamar mandi sederhana dibuat. Semua perlahan-lahan berjalan sesuai kemampuan mereka hingga rumah kecil itu mulai terlihat sebagai sebuah rumah. Apalagi ketika mereka mulai mengecat rumah dan pagar yang terbuat dari belahan-belahan bambu, serta Darti yang pada hari-hari libur mulai bertanam bunga.

”Rumah masa depan,” begitu kata Kalan bercanda karena puasnya.

”Rumah mungil yang lucu,” balas Darti girang.

”Wah, ibu tidak menyangka rumah kecil ini akan menjadi bagus dan mungil seperti ini,” ucap ibu ketika diajak Kalan berkunjung. ”Dulunya rumah ini tidak lebih dari sebuah gubuk tua yang suram. Seram bagai hantu. Tapi sekarang, ibu pun seolah ingin menempatinya,” tutur ibu tidak kalah riangnya.

Wajah Kalan dan Darti sumringah dengan pujian ibu. Tidak sia-sia mereka bekerja keras untuk mewujudkan impian melihat rumah yang pantas untuk sebuah keluarga. Kalan menjelaskan pada ibu, bahwa masih banyak yang akan ia tambah agar rumah kecil itu lebih sempurna. Kalan akan melotengnya. Membeli karpet plastik yang murah. Mengganti pintu yang keropos. Dan banyak lagi yang akan dilakukannya sebagai target ke depan. Kalan tak bisa menyembunyikan kegembiraan menceritakan semua rencananya pada ibu.

Tapi di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.

Tadi siang mamak (paman laki-laki) berpesan pada ibu agar Kalan menemaninya nanti malam di rumah gadang (rumah induk kaum tempat segala permasalahan dirundingkan). Kalan tidak mengerti apa yang akan dibicarakan mamak kepadanya.

”Duduklah,” kata mamak begitu Kalan sampai di atas rumah gadang. Kalan tidak sabar menunggu apa yang akan diutarakan mamak kepadanya, karena tidak biasanya wajah mamak seserius itu setiap bertemu.

”Ada apa, Mak?” tanya Kalan berusaha untuk tenang, meski ia tidak bisa berdusta bahwa sesungguhnya hatinya berdebar-debar. Sebab yang Kalan tahu, bila mamak memanggil salah seorang dari anggota kaum, tentu ada perihal yang penting untuk dibicarakan.

”Mamak berharap kamu tidak salah paham, Kalan. Tapi bagaimanapun kamu harus mengerti, sebab ini juga menyangkut adat kita.”

Tiba-tiba ibu datang dari dapur membawa dua gelas kopi panas, lalu duduk di sebelah Kalan. Mamak berhenti sejenak. Kalan semakin tidak sabar. Sebatang rokok keretek yang ia selai tak cukup mampu untuk menghilangkan gundahnya.

”Maksud Mamak?” Kalan mengembuskan asap ke udara.

Mamak memperbaiki sila. Mengeluarkan daun enau dari kantong baju, memasukkan tembakau ke dalamnya, lalu menggulungnya. Sebatang korek api pun ia cetuskan. Asapnya mengepul di seputar ruangan rumah gadang bercampur dengan asap rokok keretek Kalan. Bergulung. Membentuk lukisan-lukisan samar.

”Tentang rumah kecil milik ibumu, Kalan.”

Kalan menaikkan alis tidak mengerti. Ia menoleh ke arah ibu yang duduk di sampingnya. Tapi ibu diam saja.

”Rumah tersebut memang milik ibumu. Ibumu yang membangunnya dulu. Tapi rumah itu didirikan di atas tanah pusaka, tanah milik kaum kita. Ah, kamu tentu paham maksud Mamak,” kata mamak melanjutkan.

”Jelaskan saja, Mak,” Kalan menyerobot penasaran.

Mamak menghela napas.

”Kalan, tidak biasa anak laki-laki di kampung kita ini menempati tanah kaumnya. Setiap laki-laki yang sudah punya istri akan pergi ke rumahnya yang baru, atau tinggal di rumah istrinya. Nah, bila kamu menempati rumah kecil milik ibumu itu, apa kata orang nanti. Apa kamu tidak malu digunjingkan orang sekampung?”

”Tapi, Mak?”

”Iya, Mamak mengerti. Makanya Mamak katakan, kamu jangan salah paham. Dan satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, kemenakanmu banyak yang perempuan. Mereka lebih punya hak untuk menempati rumah itu. Ini sudah kewajiban Mamak untuk mengatakan. Kamu pikirkan dan pertimbangkanlah baik-baik,” ucap mamak akhirnya memutus pembicaraan. Meninggalkan Kalan yang terpana tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan rumah gadang dalam keheningan. Juga ibu yang tak mampu bersuara.

Di bingkai jendela rumah gadang, Kalan menatap jauh ke halaman. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Segelap hatinya yang berselimut gundah. Getir. Ngilu. Dan serasa ada sayat yang tak putus-putus membuat dadanya tak henti dari kecamuk. Pikirannya kusut.

Kalan merasa tidak mampu menemukan kalimat yang tepat, sungguh tidak bisa, apa yang akan dikatakannya nanti pada Darti tentang semua itu? ***

Payakumbuh, Januari 2008

Previous