Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Brak...Brak...

Tiba-tiba suara godam yang yang bertarung dengan batu-batu besar itu, kembali mampir di gendang telingaku. Memaksa kakiku berhenti sesaat, kupicingkan mataku yang sipit kearah suara itu berasal. Dan beberapa detik aku menikmati pemandangan itu, seorang laki-laki bertubuh kurus dengan tangannya yang erat memegang godam, mengayunkan berirama seakan ia memiliki tenaga yang berlapis-lapis untuk memecahkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk itu menjadi kerikil-kerikil kecil.

Namun, kepenatan pikiranku memaksa kakiku untuk kembali melangkah, menyusuri gang sempit di dekat tumpukan batu-batu itu. Bayangan kasur yang empuk dan hembusan kipas kecil di kamar indekosku, seketika membuyarkan pikiranku tentang laki-laki itu.

***

Kuusap keningku dengan sapu tangan. Rambut di bawah jilbabku sudah basah oleh keringat. Bahkan, kaus yang aku pakai telah menempel lengket di kulit. Riuh suara raungan klakson mobil dan angkutan besar sedikit memekakkan telingaku.

Aku masih membayangkan ujian hari ini yang sukses kujalani dengan berantakan sekali. Gara-gara harus pulang kampung selama sepekan menghadiri hajatan nikahan kakakku, aku sampai terlupa bahwa hari ini aku harus mengikuti sebuah ujian.

Kepalaku tiba-tiba pusing, aku berjalan perlahan menuju gang tempat indekosku yang lumayan nyaman. Sesaat mataku sekilas memandang tumpukan batu-batu besar, di tepian jalan lintas itu. Mencari sesosok tubuh lelaki ceking legam, yang telah sepekan ini tak kujumpai dirinya lewat ayunan godamnya yang beradu dengan batu-batu besar itu.

Mataku liar menyusuri setiap sudut. Mencari-cari yang pencuri hati itu. Namun, sampai dua menit aku tak mendapati sosoknya, hanya beberapa orang laki-laki pemecah batu lain yang bekerja sambil duduk di pinggiran jalan dan tertawa terbahak. Entah membicarakan tentang apa.

Otakku yang telah begitu pusing, memaksaku untuk tidak lagi mencari sosok laki-laki itu. Mungkin ia sedang salat zuhur pikirku yang lain berkata, bukankah sekarang memang saatnya salat zuhur. Hingga kulangkahkan kakiku kembali. Gontai.

***

Sehari tak kujumpai sosok laki-laki itu. Dua hari, tiga hari dan sekarang sudah sepekan. Setiap pagi aku akan berangkat ke kampus, tak pernah kujumpai lagi dirinya dalam tubuh hitamnya yang terkena sinar matahari pagi yang memerah. Begitu juga ketika matahari tepat berada di kepala atau panggangan matahari dengan semburat senja yang telah memerah, tetap tak kujumpai sosoknya dalam balutan kaus yang banjir oleh peluh yang keluar dari pori-pori tubuhnya yang tidak pernah tampak lelah.

Sore harinya mataku masih liar memandang setiap sudut tumpukan batu-batu itu. Bahkan, kudekatkan tubuhku pada sudut di mana laki-laki itu sering berdiri dengan ayunan godamnya.

" Nyari sapo dek?"

Tubuhku sedikit terlonjak kaget ketika laki-laki bertubuh tak kalah ceking dengan laki-laki yang sedang kucari itu telah berda di belakangku.

"Ngapo, kaget yo? Nyari siapo?" Laki-laki itu kembali mengulangi pertanyaannya.

Kugeser sedikit tubuhku agak menjauh dari tubuh laki-laki itu.

" Enggak Pak. Cuma mau nanya . Bapak yang tukang mecahin batu, yang badannya kurus yang sering pakai kaus partai itu mana ya Pak?"

Laki-laki di hadapanku itu termenung sejenak. Berpikir. Alisnya yang tak rapi itu sedikit ia naikkan ke atas.

"O, Nasir yo ?"

"Mungkin, Pak. Saya juga tidak tahu namanya."

Lelaki itu berdehem sejenak. Sedikit menelan ludah.

"Sudah meninggal sepuluh hari lalu. Kena kanker aku denger-denger."

Aku terdiam bisu, tubuhku sedikit menegang mendengar kabar yang tidak aku sanga sama sekali itu. Sedang laki-laki di hadapanku itu masih memandangku heran.

"Ngapo? Adek ni saudaranyo?"

Laki-laki itu kembali menanyakan sesuatu kepadaku. Namun, entah mengapa aku tidak berniat sedikitpun menjawabnya. Kakiku kembali ku langkahkan mendekati sebuah godam yang masih terbujur bisu, di sela-sela tumpukan batu-batu besar itu. Seketika kuangkat godam itu.

Berat luar biasa untuk seorang perempuan manja sepertiku. Entah dari mana laki-laki itu mendapatkan kekuatan untuk terus mengayunkan godamnya dengan tubuh cekingnya yang bersarang kanker itu.

Brak...Brak....

Tiba-tiba suara berirama itu kembali mampir di telingaku. Menjadi sebuah irama yang begitu aku rindukan. Kupandangi lagi godam yang besar itu. Tetap diam dan bisu. Tinggallah aku yang berdiri tercenung di pinggiran timpukan batu-batu besar itu.

***

Previous