Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Aku, Nenek dan Halte Bus

Cerita Pendek Gita Nuari

Minggu, 31 Juli 2005

Setiap pagi, aku selalu berada di halte bus untuk menunggu Mas Budi men-jemputku dengan mobilnya. Di halte bus itu selain terdapat beberapa orang yang menunggu bus, terdapat pula seorang nenek tua tengah berjualan koran. Nenek yang dikenal bernama nenek Peni ini, menjual beberapa koran dan beberapa tabloid yang digeletakkan begitu saja diatas plastik. Aku sengaja selalu berada di halte itu setiap pagi karena permintaan Mas Budi.

"Biar kujemput saja, dan kamu tunggu saja aku di halte itu," kata Mas Budi lewat telepon. Karena aku tak mau banyak omong, kuturuti saja permintaan Mas Budi. Dan nyaris dua tahun lamanya aku selalu setia menunggu jemputan Mas Budi untuk mengantarku berangkat ke kantor dengan mobilnya.

Mas Budi ini adalah seorang pria yang sangat aku cintai. Tapi sayangnya, ia sudah beristri. Entah kenapa aku mau berhubungan dengan pria yang sudah beristri? Aku sendiri tak tahu. Cinta memang buta, pikirku. Tapi sebenarnya, aku mulai pusing memikirkan hubungan ini karena tiada kejelasan sikap dari Mas Budi sendiri. Aku hampir-hampir putus asa, pasrah atau meninggalkan Mas Budi. Kalau sudah didera beribu pertanyaan seperti itu, aku jadi salah tingkah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Entahlah, aku jadi bingung kenapa aku bisa kecantol dengan Mas Budi begini rupa. Memang tak bisa dipungkiri, kisah ini berawal dari seringnya kami berjumpa. Mas Budi yang bekerja sebagai seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor, dan kebetulan perusahaannya ada kerja sama dengan dengan perusahaan dimana aku bekerja, jadilah aku dan Mas Budi sering mengadakan pertemuan. Dari urusan kantor sampai ke urusan pribadi. Dengan demikian bermunculan benih-benih cinta yang begitu besar dan menggebu. Sampai akhirnya aku seperti istri simpanan Mas Budi yang terus bergantung kepada aturannya. Dan di halte ini lagi, aku menunggu kedatangannya untuk kesekian kalinya sambil memperhatikan cara nenek Peni menjajaki dagangannya.

"Koran Non, beritanya rame-rame!" begitu cara nenek Peni menawarkan dagangannya padaku. Awalnya aku merasa geli dengan cara nenek Peni menawarkan dagangannya seperti itu, tapi akhirnya aku senang juga dan kuanggap itulah ciri nenek Peni yang tak bisa aku lupakan. Untuk menyenangkan hati sang nenek, akhirnya aku membeli satu buah tabloid wanita. "Korannya nggak sekalian, Non?" tanyanya kemudian.

"Tabloid ini dulu saja, Nek. Buat iseng baca di kantor," sahutku sambil mengeluarkan uang pembayaran.

"Sungguh Non, korannya beritanya rame-rame," tawarnya lagi. "Kok Nenek tahu?" tanyaku sekadar menanggapi.

"Lihat saja foto-fotonya. Ada demo, ada kebakaran, ada tawuran antar warga," ungkapnya polos. Aku nyaris tertawa lepas saat mendengar omongannya. Giginya yang sudah banyak ompong itu mengingatkan aku pada seorang nenekku yang berada di kampong halaman. Belum sempat aku melihat-lihat tabloid yang lain, Mas Budi keburu datang dengan mobilnya. Aku permisi pada nenek Peni, dan tampak ia memperhatikanku tanpa berkedip ketika aku masuk ke dalam mobil yang dikemudiakan Mas Budi.

"Kenapa kamu tersenyum-senyum seperti itu?" tanya Mas Budi sambil menjalankan kembali mobilnya.

"Aku merasa geli melihat cara nenek tadi menawarkan dagangannya."

"Kenapa?"

"Ya lucu saja," jawabku singkat. Lalu sepi. Mobil berjalan biasa saja. Biasanya dia main kebut setelah aku berada di dalam mobilnya. Ini kali sungguh kalem.

"Santy," panggilnya sambil matanya tetap mengawasi ke depan. Aku menoleh ke arahnya, "Apa kamu sudah menemukan jalan lain untuk kelanjutan hubungan kita?" tanyanya kemudian. Senyumku kurasakan tiba-tiba hilang. Urusan kembali rumit. Betapa tidak, aku sudah nekat dijadikan istri keduanya bila Mas Budi benar-benar mau adil. Eh, sekarang malah menanyakan padaku soal 'jalan lain', anehkan! Dan bila itu terjadi tentu akan jadi masalah bagi istri pertamanya. Aku sadar, aku merasa orang yang paling berdosa dalam hal ini. Tapi siapa bisa menentang koderat kalau Tuhan sudah memberi jalan hidup seperti yang kualami sekarang. Meski pada dasarnya tak ada seorang istri pun mengijinkan suaminya kawin lagi, dan wanita mana yang mau dijadikan istri kedua kalau tidak ada masalah lain?

"Jalan lain, maksud Mas?"

"Ya, jalan lain,"

"Tentu menikahlah, Mas!" cetusku. Mas Budi tersentak. "Kenapa? Berat!?"

Mas Budi menoleh, "Bukan begitu, Santy. Kamu tahu kan , keadaanku?"

"Dari dulu aku tahu kalau Mas Budi sudah beristri. Lalu kenapa? Apa Mas menginginkan aku kawin dengan lelaki lain, dan kita bubar secara baik-baik! Begitu maksud Mas?"

Mas Budi hilang suaranya. Wajahnya beku menghadap ke depan. Aku tiba-tiba ingin menangis, tapi mobil Mas Budi tak terasa sudah berhenti di depan kantorku.

* * *

Next