Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Hujan Telah Selesai

Cerita Pendek Alex R

Sore itu, ruang pengantin telah lengang. Ranjang perlahan-lahan mendingin. Pacu birahi padam. Lelaki yang dipanggil "Mas" itu menatap Dhesi, istrinya. Hujan di luar masih turun. Hening. Waktu berbenturan di setiap sudut ruangan. Selebihnya diam. Mereka berdua kembali mengenang percintaan yang baru saja selesai.

Sisa dingin dari hujan seperti berjingkat kecil, pelan-pelan, seperti langkah yang berjinjit. Hanya suara angin yang berdesir, mengatup semua bulir. Di tubuh sepasang pengantin itu, masih ada sisa peluh yang menetes, merayap, jatuh ke tempat yang paling rendah. Lelaki itu menatap peluhnya sendiri, yang mengingatkannya pada pelajaran di masa sekolah tentang hukum-hukum air. Mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.

Ia mendesah napas. Perlahan, lebih lambat dari detak jam. Ada semacam riuh yang terendam.

"Jam berapa, Mas?" tanya Dhesi, mengejutkan lamunannya.

"Jam setengah enam sore," setelah wajahnya melirik ke arah dinding yang bercat putih.

"Apa hujan telah reda?" tanya Dhesi. Ia berjingkat, membuka katup jendela kamar, mengintip dari celahnya. "Ya." Lelaki itu masih melihat basah yang berumah di dedaunan, mengkilapkan reranting, tanah yang lembab-peta yang menandakan hujan pernah mampir di situ.

"Adakah ceritamu tentang hujan yang sudah kelar?" istrinya seakan menantang, "Ayo dong, Mas, ceritakan aku lagi tentang itu!"

Lelaki itu masih saja mengintip dari celah jendela. Melihat sore yang mulai gelap. Ia menduga, sebentar lagi malam akan datang. Ia melihat wajah Dhesi lama. Terdiam, hampir lima menit, "Hujan yang reda, maksudmu?" Dhesi menganggukkan kepala tanda setuju.

Dan, dimulailah cerita itu: Barangkali, seseorang, mungkin dirimu, telah kehilangan sesuatu. Padahal, kau kerap menunggunya berwaktu-waktu. Bagimu, hujan adalah sebuah napas, yang mengisyaratkan sebuah ruang yang tersembunyi.

Sebagaimana dalam film-film klasik Cina, hujan selalu meninggalkan sebuah bekas. Di mana kau akan merajut ulang kenangan, mimpi, atau pijar harapan yang masih tertinggal. Bagimu, hujan bukan sekadar tumpahan air yang jatuh dari langit. Hujan merupakan pelambang, yang membuatmu terpaksa memikirkan leluhur-leluhur yang menebarkan sulur baru. Hujan yang terus memburu-buru seluruh pengetahuanmu. Yang memaksamu terus terkenang pada perahu besar dari kayu, mengarungi daratan yang telah menjelma jadi lautan. Ya, kau terus saja mengingat Nuh, yang begitu tegar sendirian mengarungi samudera. Air dingin itu akan memeluk apa saja dengan ikhlas. Mungkin sebagai potret dirimu yang tak henti-henti mengalir, melewati batas-batas pencarianmu. Hujan pulalah yang mengingatkanmu pada sebuah film Hounted Manson, ketika Eddie Murphy sekeluarga terjebak di tengah parau hujan yang deras di tengah rumah dipenuhi hantu. Hujan yang selalu menahan, dan memaksa untuk menciptakan atap-atap baru, katakanlah untuk sekadar menutupi diri agar tak basah. Atau bunyi petir di tengah langit yang getir, yang membuka ingatanmu pada sebuah perang dalam The Last Samurai, di mana potongan besi pedang beradu, mendentangkan gemerincing besi.

Ah, betapa hujan selalu memijakkan jejak yang menapak. Melalui genangan-genangan. Menciptakan lautan baru. Kau baru saja menuju rumah. Melewati jalanan yang sepertinya akrab kau lalui. Kau sedang menghitung-hitung, adakah kejutan baru yang kau dapati di rumah nanti? Sebab berulang kali, kau hanya menemui labirin kesunyian abadi, setiap kali tiba di rumah. Tak ada seorangpun yang enak diajak bicara, hal yang membuatmu terlampau cepat bosan sehingga kau ingin keluar saja dari rumah. Berjalan, mungkin sendirian, ke mana saja. Terkadang kau mengunjungi kenalan perempuanmu. Tertawa banyak-banyak, sekadar menyembunyikan gulanamu. Tetapi itupun tak kekal.

Perempuan itu cepat menghilang, ketika malam tambah hitam, justru waktu juga yang membatasi sebuah pertemuan. Mendadak perpisahan di depan mata. Ya, sudah berulang kali pula, kau berjumpa dengan perpisahan, dengan kekasihmu, misalnya.

Pertama kali kau merasa begitu kehilangan. Pertama kali, kau menyesali, mengapa cintamu tak pernah bisa abadi. Tetapi akhirnya, setelah perempuan baru datang, kau berangsur-angsur melupakan perempuan lamamu. Segalanya nampak jadi biasa. Hal-hal biasa pula, yang memakumu. Seperti juga ketika hujan selesai, kau mungkin agak sedikit menyesalinya, tetapi, toh, kau pikir kau akan berjumpa hujan yang baru juga suatu waktu.

Dan kau melintasi jalanan setelah hujan selesai. Kau melihat orang-orang membenahi segelanya. Keluar masuk dari dalam kepalamu. Beberapa wajah ada yang sempat kau kenal, mungkin di masa lalu. Begitu banyak mereka. Ketika melewati perempatan itu pula, kau mendengar percakapan dua kekasih yang bertengkar.

"Jadi apa kau lebih memilih dirinya dibandingkan aku? Apakah dirinya lebih cantik dariku?" jerit seorang perempuan. Si lelaki hanya terdiam. "Lalu, apa diriku selama ini? Apakah aku memang tak layak untuk kau cintai?" Mereka terus saja bertengkar. Membongkar keterjagaanmu. Ah, cinta! Selalu saja tak mampu dijelaskan dengan metafisika.

Pada mulanya, kau menduga, si perempuan benar-benar akan meninggalkan lelaki itu. Tetapi kau keliru, saat perempuan itu menangis dengan liris, si lelaki justru memeluknya. Mereka berpelukan rapat, dan semakin rapat. Beberapa saat kemudian, pasangan itu justru tertawa-tawa kecil. Beberapa waktu kemudian, mereka saling melumat bibir, berciuman, seolah-olah tak ada orang di sekitarnya. Kau menyaksikan itu, tetapi kau membuang pandang. Kau merasa cemburu, bukan pada prempuan itu, toh kau juga tak mengenalnya. Tetapi ternyata mereka dapat menyelesaikan masalah setelah hujan berhenti. Tidak seperti dirimu, yang tiba-tiba kalah. Tidak seperti dirimu, yang ternyata ditinggalkan kekasihmu.

Next