Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sebelum Hujan Turun

Cerita Pendek Alex R

LAKI-LAKI yang dipanggil ‘Mas' oleh Dhesi, telah selesai melakukan ritual sucinya. Sepasang pengantin, telah selesai bercinta di tengah malam yang hitam. “Mas, kalau tadi berkisah tentang hujan yang turun di suatu kota. Aku ingin Mas berdongeng tentang kejadian sebelum hujan. Ayo, dong Mas...”

Laki-laki itu bingung, ia merasa kehabisan napas. Masih ada letup birahi yang menjilat tubuhnya. Keringat masih membasahi tubuhnya. “Sebelum hujan? Sebelum hujan bagaimana?”

“Ya, peristiwa yang terjadi sebelum hujan. Adakah cerita tentang itu.”

Lelaki itu termenung sebentar. Ia menatap lekat kedua bola mata Dhesi. Kemudian ia memulai ceritanya.

Engkau melangkahkan kakimu tergesa, melewati jalanan itu. Seperti ingin cepat sampai ke dalam kamar. Menghirup udara dengan tenang. Engkau begitu tergesa, jalanan begitu ramai. Langit melulu mendung, tanpa sadar langkah kakimu tersandung di kelokan. Engkau melihat orang-orang juga sama melakukan pekerjaan, seperti dirimu, berjalan dengan tergesa. Menelusuri bahu jalan. Angin dingin menyergap, membuatmu tambah kasmaran. Sebuah ujung yang mungkin akan membawamu pada rumah yang nyaman. Di mana engkau bisa menentramkan pikiranmu, mengisap peristiwa yang pernah terjadi di dalam dirimu. Barangkali engkau akan terbiasa, mengenangkan semuanya. Tetapi tak kau dapati jalan menuju rumah, cuma kelokan, persimpangan yang membuatmu melulu jemu menunggu.

Lalu engkau mengenang hujan akan turun deras. Engkau mengkhayalkannya begitu rupa, seperti sebuah lengkungan yang tumbuh di kornea matamu, ketika engkau mengingat kisah dirimu di bulan lalu yang ditaburi kebahagiaan. Engkau tak tahu, apakah perempuan yang kau taksir itu, juga mengetahui jika dirimu menyukainya. Engkau memang pernah menemuinya beberapa kali. Acap kau jadi malu sendiri ketika matamu tertangkap basah bertemu dengan kedua matanya yang berpijar merupa lembut lampion itu. Engkau memang mengaguminya, sebagaimana dirimu mengagumi warna-warna yang hambur dan melekat di kedua matamu.

Tetapi engkau terus melangkahkan kaki, begitu cepat. Napasmu panjang-pendek. Gerakanmu menjadi gelisah, kau seperti melihat hujan tengah menunggu di depan dengan basahnya yang lembab. Dengan getarannya yang dingin dan menyelimuti pikiranmu. Dengan hamburan air yang membuatmu terkapar ke sebuah tempat, yang mungkin sering kali kau temui dalam tidurmu. Hujan yang selalu kau kenang, tengah menerbitkan birahimu untuk mempersiapkan rencana-rencana baru, jika hari berganti besok. Makanya, engkau begitu tergesa mencapai pintu rumah, menguakkan besi pintu itu, dan merebahkan tubuhmu, pikiranmu, juga kenangan-kenangan yang semenjak lama mengurungmu. Namun yang kau dapati engkau masih di tengah jalan, bersatu di antara kelindan orang-orang yang mungkin tak menyangka jika hari ini hujan akan turun. Hal itu, nampak dari jinjingan mereka, tanpa jas hujan, tanpa payung, tanpa alat peneduh dari hujan. Bukankah semuanya tak mampu diduga? Cuaca mirip dengan perempuan yang pernah kau taksir itu, melulu menipu.

Demikianlah. Engkau tertahan di sebuah tempat, yang telah kau akrabi sejak lama. Pikiranmu bergulingan, membangun candi baru. Pikiranmu terkapar, sementara jalan masih saja selalu ramai. Kota memang seperti sebuah sulap, yang mudah menyihir pandangan, yang ternyata sulit diakrabi dengan dekat. Dan kau terus saja bergegas, melewati lengkungan jalan, yang nampak makin basah. Langit benar-benar gelap. Engkau membayangkan, jika hujan jadi turun, engkau akan menampung ingatanmu pada perempuan yang pernah kau taksir itu, kau akan merampungkannya. Barangkali, kau akan meneleponnya lama-lama, berbicara sampai kau merasa muak mendengar suaranya. Atau mungkin juga engkau akan menuliskan sebuah puisi —yang tentunya selalu saja tak sempat kau berikan padanya, sebab ia lebih suka pada musik-musik di CD atau MTV. Sebab ia terlampau menyukai acara sinetron atau FTV. Sebab, engkau mengetahui, ia tidak menyukai sedikitpun puisi yang kau ciptakan. Sebab ia kerap mengenyek tata bahasamu yang kacau ketika kau memilah diksi dalam puisi. Sebab ia lebih suka keluyuran di diskotik sampai jauh larut malam, sambil berjingkrak-jingkrak di antara dentuman house music. Tetapi, toh, kau tetap menyukainya. Tetapi kau memang menginginkan dirinya menjadi kekasihnya. Sebagaimana ingatanmu pada Jack pada Rose Dawson dalam film Titanic, “you jump, then I jump.” Tetapi engkau mungkin telah mencintainya sejak lama, semenjak engkau mengajaknya jalan-jalan ke tengah kota , dan berbisik, shit! berkali-kali, ketika ia menerima panggilan di telepon selulernya dari seseorang yang tak dikenalnya. Sebab engkau sudah tergila-gila sejak lama pada dirinya, yang mungkin telah membangun sebuah ingatan yang kuat pada dirimu.

Engkau masih saja berjalan tergesa, sembari berharap hujan jangan dulu turun. Engkau tak ingin kebasahan di seluruh pakaianmu. Engkau ingin hujan turun ketika dirimu telah masuk ke dalam rumah. Ah, bagimu, saat ini rumah semakin jauh saja.

Next