Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Diterima Kabar Luka

Cerita Pendek Pandapotan MT Siallagan

DITERIMA kabar duka pada 26 Desember 2004: Telah terbang ribuan nyawa, telah hilang berlaksa jiwa, lesap disapu bencana. Mari menundukkan kepala, berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga untuk jiwa-jiwa yang kehilangan. Di sekotah tanah kekasih, kesedihan menggelombang, seperti laut yang mengamuk. Di sekujur negeri kesayangan, hati menggeletar, seperti ledakan gempa.

Didengar dan disaksikan kabar duka lewat televisi, radio, koran, pembicaraan mulut ke mulut, dan ratusan juta penghuni bumi menangis, mencucurkan luka dari setiap dada yang menggelepar diaduk kesedihan.

Seorang perempuan muda menangis ketika menonton televisi. "Mengerikan, ini mengerikan sekali. Hentikan... berhentilah mempertontonkan luka ini," isaknya entah kepada siapa, memukul-memukul kepalanya dengan kepalan tangan yang begetar. Tapi televisi makin buas menyodorkan airmata, tangisan, jeritan, mayat, serpih-serpih kehancuran. Hati perempuan itu remuk, lumat. Ia tak tahan. Ia mengerang sambil berlari ke belakang rumah, mengambil balok kayu, lalu menghantam layar televisi dengan sangat keras. "Braak..." Televisi hancur. "Tak pantas luka ini dipertontonkan," katanya dengan suara yang tersiksa. Perempuan muda itu tiba-tiba menjadi benci pada televisi, juga orang-orang yang muncul dan berlintasan di dalamnya.

Tetapi, untuk bisa terus-menerus memantau perkembangan duka, perempuan itu harus mengikuti berita. Maka ia beralih ke surat kabar. Ia membaca surat kabar dengan airmata bercucuran. Ia membaca surat kabar dengan tangan dan tubuh bergetar. Ia membaca surat kabar dengan hati yang terhantam. "Bangsat," perempuan itu berteriak, "Ini bukan berita duka. Ini tulisan sensasional." Ia mencabik-cabik surat kabar hingga menjadi serpihan-serpihan kecil dan menghamburkannya ke selokan di depan rumahnya. "Enyahlah kalian, wahai iblis-iblis laknat. Tak pantas luka dikomodifikasi untuk meraup keuntungan." Perempuan itu benci pada surat kabar, juga orang-orang yang sedang bertukang di dalamnya.

Diterima dan disaksikan kabar duka yang menggeletar dari menit ke menit, menguras airmata. Perempuan muda itu terus-menerus mengamati perkembangan luka. Ia mendengarkan radio. Setiap berita yang dihadirkan selalu disimaknya dengan penuh khusyuk, seperti sedang berdoa untuk jiwa-jiwa yang hilang, juga bagi jiwa-jiwa yang kehilangan. Tapi, lagi-lagi amarahnya meledak. "Bedebah," katanya seraya membanting radio ke lantai, "Kalian kira orang-orang senang mendengar suara kalian pada saat-saat sedih seperti sekarang." Perempuan itu merasa, pembaca berita hanya tampil untuk menonjol-nonjolkan suranya yang bagus, mendayu-dayu di antara jeda kata, tanpa sedikit pun menguarkan suasana sedih. Ia benci radio dan suara-suara yang melacurkan diri di dalamnya.

Diterima kabar duka yang beredar meremuk jiwa. Perempuan itu turun ke jalan-jalan, berbicara dan mengajak orang-orang menangis. Ia meneriakkan puisi-puisi keprihatinan, menyenandungkan tembang-tembang ngilu, menerbangkan ratapan ke angkasa, agar burung-burung mendengar, agar kupu-kupu menangis. "Mari, Saudara-saudara," ratap perempuan itu, "Kita berikan apa yang bisa kita berikan. Kita kuatkan saudara-saudara kita."

Tapi ia menemukan hanya sedikit saja orang yang bersedih. Hanya beberapa gelintir yang benar-benar prihatin. Selebihnya adalah sosok-sosok yang terperangah, takjub dan terhibur menyaksikan perkembangan duka.

"Dasyat," kata seseorang ketika melihat rekaman luka di sebuah televisi. Ombak bergulung dari dari arah laut, menghempas dan menerjang-nerjang, kota-kota di sepanjang pantai ambruk.

"Luar biasa," kata yang lain menyaksikan ribuan mayat teronggok.

"Ini baru seru, akan tercatat sebagai rekor terdasyat dalam sejarah."

"Tontonan yang sangat menarik."

"Tuhan memang luar biasa."

"Tuhan murka."

Dan telinga perempuan itu serasa ingin meledak ketika mendengar ucapan-ucapan itu berdentam. Ia tidak melihat garis kesedihan mencuat pada wajah-wajah. Ia tidak melihat airmata duka mengalir dari mata mereka. Dan ketika perempuan itu singgah di lepau, kedai kopi, dan warung-warung, ia mendengar lelaki-lelaki kuli, pemabuk dan para penjudi sedang ribut mempersoalkan angka berapa kira-kira yang diisyaratkan peristiwa itu. Mereka akan menukarnya dengan kupon-kupon togel. "Anjing kalian," kata perempuan mencopoti seluruh pakaiannya, dan menari-nari. Para lelaki kuli, pemabuk dan penjudi itu berlarian, hambur seperti diterjang gelombang.

Next