Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Pacar Rembulan

Cerita Pendek Pandapotan MT Siallagan

KARENA setiap ingatan menyakitkan, maka panggil aku Rembulan, kataku malam ini. Angin terasa nyaman, dihangati sinar bulan. Dedaunan pohon beringin menawarkan kesejukan yang lain ke dalam hati kita.

"Mengapa?"

Ah, kau seperti belum pernah bepergian. Usia sudah sesenja ini, belum cukup memberi artikah banyak peristiwa? Ingat-ingatlah semua kepedihan, hatimu pasti sakit. Ingat-ingat juga segala kebahagiaan, hatimu juga pasti sakit. Begitulah, kekasih, hal-hal yang hilang pasti menyakitkan. Tentu, ada ingatan yang indah, baik pedih maupun bahagia. Maka, panggil aku Rembulan.

"Mengapa?"

Aduh, kau belum paham juga. Ingatkah kau pacar pertamamu? Ketika pertama kali kaukecup bibirnya, tangannya yang lembut menampar pipimu, iya kan? Dan kau pasti bahagia ketika mengenangnya, menatap rembulan pada malam yang dingin, bermanja-manja dengan lengang. Begitulah, dengan egoisme dan kelicikan usia remaja, kau mungkin pernah merayunya dengan berkata bahwa dialah satu-satunya perempuan yang kaucintai. Dialah perempuan yang membuatmu masuk ke tahap dewasa awal, sebab berpisah dengannya membuatmu berpikir tentang kematian. "Aku tak bisa hidup tanpamu. Aku akan bunuh diri jika kau meninggalkanku." Uhff, gombal. Nyatanya, ketika lengan kecil pacarmu itu merangkul pinggang lelaki lain, kau hanya mengumpat, melupakannya, lalu senyum-senyum sendiri mengenangnya, sambil memandang rembulan. Mungkin sambil merayakan kemenangan karena kau baru saja mendapatkan kekasih yang lebih cantik. Tak ada luka sebenar dalam hidup ini. Tak ada bahagia sebenar sepanjang perjalanan ini. Dan tentang cinta, kepada kita telah selalu dikisahkan: Once upon a time , hiduplah sepasang kekasih yang saling mencintai tapi harus berpisah karena perang. Tetapi, sepasang kekasih itu selalu bertemu pada bulan purnama. Yah, selalu wajah mereka saling bicara di wajah bulan....

"Itu mah bukan dahulu kala," kau menyela. "Kisah itu ada di depanmu, di halaman rumah kita."

Ah, lagi-lagi kau seperti belum pernah bepergian. Sejarah, sayangku, bukan peristiwa yang berjalan lurus. Ia seperti hatimu. Meskipun banyak hal kauyakini telah usai, adakalanya hati akan membawamu mengunjungi banyak peristiwa. Ketika wajah kota muram oleh gerimis, kau menemui lagi pacar keduamu di tepian sungai. Kalian duduk dengan kaki berselonjor ke dalam air. Sayangku, katamu dengan suara renyah, bagaimana kalau tiba-tiba kedua kakimu berubah jadi ekor ikan, dan kau menjelma putri duyung? Kekasihmu menyahut: ‘Aku akan bersusur di sepanjang sungai, mencari pangeran-pangeran ikan. Aku akan bercinta dengan mereka sepuas hatiku. Sebab mereka pasti lebih tampan daripada kau.' Merasa kalah, kau bangkit secara mendadak, berlari dan berteriak dengan keras: Awas, ada buaya... ada buaya. Kekasihmu ketakutan, lalu mengejarmu. Setelah itu kau tertawa. Kekasihmu jatuh ke pelukmu dengan tubuh gemetar, lemas karena sandiwara kecilmu.

Hati juga akan membawamu ke suatu masa di mana segala sesuatu masih tampak sempurna. Gubuk kecil tempat bapa dan ibu merawatmu. Kali kecil berair jernih. Sawah dan ladang hijau. Hutan-hutan yang ditumbuhi pohon-pohon tegak. Gunung dan perbukitan yang mengokohkan jiwa. Kicau burung dan kokok ayam yang membangunkanmu pada pagi hari. Jalanan berbatu yang kaulintasi setiap pulang-pergi sekolah. Juga kau kecil yang suka usil pada teman-teman perempuanmu. Pernah, kan, kau menjambak rambut gadis tercantik di kelasmu?

"Ah, kau mengigau. Aku tak pernah memiliki semua itu. Aku tumbuh dan besar di sebuah bandar," katamu.

Oleh sebab itu, panggil aku Rembulan, kataku. Malam ini semakin dingin, bulan mulai lenyap disapu awan, bintang-bintang menyisih entah kemana. Tapi percakapan kita masih hangat, seperti tak akan terusir oleh apapun.

"Mengapa?"

Ah, kau membuatku gemas. Ingin kucakar hatimu yang tak juga mengerti. Tidak tahukah kau makna setiap kenangan? Aku pernah melihat bulan rebah di sepanjang pantai. Kadang ia menari-nari digoyang ombak. Agak jauh di utara, sedikit menjorok ke arah laut, kapal-kapal mengonggok. Tiang pelabuhan bercerita tentang sunyi sejarah. Peluit-peluit kapal meruncing seperti ingatan yang menusuk. Kapten dan anak buah kapal berbondong-bondong menuju restoran-restoran murah, tentu dengan harapan bisa melingkarkan tangan di pinggang pelacur-pelacur pelabuhan. Ah, bagian ini membuatku sedih. Kau mirip seperti anak buah kapal bertubuh kecil. Ya, kau mirip seperti lelaki berkulit hitam dan berbulu itu, warna kalian mirip seperti malam. Wajah kalian seperti kegelapan kota yang terbakar. Di atas pasir, dialah lelaki yang mengajariku cinta, juga kehidupan.

"Kau bersetubuh dengannya?"

Next