Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Surat dari Kekasih

Cerita Pendek Pandapotan MT Siallagan

AKU berada di rumah sakit untuk menjaga ibu mertuaku yang sedang dirawat inap selama beberapa hari. Sakit yang dideritanya sebetulnya tidak terlalu parah, hanya penyakit-penyakit ringan yang sudah lazim menimpa orang-orang tua.

Tapi, Attar Brozova, suamiku, bersikeras menginapkan emak yang sangat dicintainya itu di rumah sakit. Katanya, agar aku tidak terlalu repot mengurusinya mengingat pekerjaan rumah saja sudah menumpuk dan setiap saat harus selalu dibereskan. Di satu sisi, apa yang dikatakan suamiku itu memang benar, tapi di lain sisi, itu justru membuatku semakin repot karena aku harus bolak-balik antara rumah dan rumah sakit, antara mengurus ibu mertua dan mengurus rumah dan anak-anak.

Dan malam itu, setelah pada sore harinya ada telepon dari rumah sakit yang memberitahu bahwa kondisi kesehatan ibu mertuaku semakin parah, aku harus berada di rumah sakit untuk menjaganya. Suamiku kebetulan tidak bisa ikut. Ada urusan yang harus diselesaikannya berkaitan dengan pekerjaan kantor.

Untuk menyelamatkan diri dari serbuan jengah, aku keluar dari ruangan di mana ibu mertuaku dirawat, pada saat beliau tertidur, tentu saja. Aku duduk di sebuah bangku yang khusus disediakan bagi para pembesuk. Sekilas kuamati orang-orang yang lalu-lalang dengan wajah-wajah cemas, sedih, putus asa, dan menjadi sadar: alangkah aneh rumah sakit. Di situ, keriangan hidup benar-benar terampas.

Tak jauh dari tempatku, duduk juga dua wanita cantik yang tampak sedang asyik mengobrol. Mereka agaknya terlibat dalam suatu pembicaraan menyenangkan, tapi tawa yang sesekali meledak dari mulut mereka, sungguh membuatku sedikit tidak nyaman. Apakah gerangan ihwal yang bersarang di otak mereka sehingga di rumah sakitpun masih bisa cekikikan? Apakah mereka ke rumah sakit tidak untuk membesuk keluarga atau teman yang sakit?

Aku mendadak kehilangan rasa hormat kepada dua wanita itu. Tapi, entah mengapa, aku justru merasa tergoda untuk mengamati tingkah dan pemampilan mereka, dan berusaha sebisa mungkin menguping pada apa-apa yang mereka bicarakan. Seorang dari mereka, duduk di sebelah kiri arahku memandang, memiliki rambut panjang, hidung mancung, ada kacamata bertengger di atas hidungnya dan matanya yang angkuh tampak lebih teduh di balik kacamata itu. Yang seorang lagi tampak sangat anggun dengan rambut sebahu yang dipotong dan disisir rapi, dagunya sedikit lancip, berleher jenjang. Mereka berdua sama-sama berkulit putih, belum ada kerut-merut dikulitnya, memiliki payudara besar dan masih membusung, perut langsing dan wajah mereka berseri-seri seperti tak ada marabahaya dan kesedihan-kesedihan yang berusaha merusak wajah itu. Diam-diam aku merasa iri. Aku tidak lagi secantik mereka. Perutku sudah penuh dengan lipatan-lipatan lemak. Pada wajahku sudah mulai bermunculan bintik-bintik hitam yang menyebalkan. Dan, orang-orang berkata bahwa mereka sudah tidak bisa lagi menemukan kecantikanku yang berdelau pada saat masih muda. Ah, aku jadi benci pada dua wanita itu. Tapi tidak. Perasaan buruk itu tidak boleh kubiarkan melilit jiwaku. Maka, sambil berusaha menata perasaan-perasaan kurang ajar, aku mencoba mendengar apa-apa yang mereka bicarakan.

"Kerja di mana?" pemilik rambut panjang bertanya.

"Di bank. Kamu tahu, aku senang sekali dengan pekerjaan itu. Selain memang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang kumiliki, bekerja di bank sudah menjadi impianku sejak kecil," sahut pemilik dagu lancip dengan kebanggaan yang berlebihan.

"Oh, begitu ya," kata si empunya hidung mancung takjub, lalu bertanya lagi, "Kuliah di mana dulu?"

"Di Universitas Diponegoro, di Semarang."

"Angkatan berapa?"

"Sembilan dua."

"Wow, kebetulan banget. Kamu kenal dong sama Jonggi Monakov?"

"Oh, kenal. Kenal sekali. Dia teman baikku sewaktu kuliah. Asyik tuh berteman dengan dia. Orangnya santun, ramah, cerdas dan suka ngeguyon. Dia juga tampan. Kamu kok bisa kenal sama dia?"

"Dia teman SMA-ku. Kami sangat akrab dan aku selalu yakin bahwa dialah satu-satunya lelaki paling baik yang pernah kutemui. Dia sangat penyayang sih, sangat perasa. Sesudah dia kuliah, kami masih terus bersahabat lewat surat dan email. Waktu itu aku kuliah di Medan.

"Tapi..." kata kedua wanita itu serentak, tapi segera diambil alih oleh pemilik hidung mancung, "Dia sekarang di penjara. Dia membunuh istrinya."

"Yah, aku tahu. Aku sedih sekali mendengar kabar itu."

Lalu, kedua perempuan itu terdiam. Ada kesedihan yang menguar dari wajah mereka. Dan, dengan langkah getir, aku meninggalkan mereka dan kembali ke ruangan dimana ibu mertuaku dirawat. Tapi, pada saat kusadari pikiranku sangat tersita oleh dua perempuan itu, aku tiba-tiba merasa seperti mengenal mereka, seperti pernah bertemu dengan mereka. Tapi dimana? Ah, persetan dengan mereka. Aku justru terkenang pada Jonggi, lelaki yang baru saja mereka bicarakan. Lelaki itu adalah bekas kekasihku. Aku pernah mencintainya dengan gila. Dia pernah mencintaiku secara membabi-buta. Tapi jika ingat penyimpangannya, ah...

Next