Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jika Hujan Jadi Turun di Tanjungkarang

Cerita Pendek Alex R

"Mas, tolong bacakan dongeng, dong!" pinta Dhesi, seorang perempuan yang berumur 25 tahun itu. Di ruang pengantin, seperti ada sebuah hasrat yang timbul-tenggelam. Semacam pelampung yang ngambang di tengah laut. "Cerita tentang apa?" ucap si laki-laki. "Apa saja, tentang sebuah hujan, misalnya?" Lalu, laki-laki yang dipanggil "Mas" itu pun mulai menyibak sebuah buku, berpikir keras sekejap membacakan kalimat demi kalimat, di antara malam yang mulai merapat, dan tambah hitam.

Inilah kota yang selalu ditulis para penyair. Direkam menjadi diksi yang berhamburan, begitu luas. Kota yang ramah, dengan sejumput kerinduan yang terus disibak. Direkam. Di setiap sudutnya selalu melahirkan tanya, mungkin kau tak percaya, tetapi telusurilah, ruas demi ruas, kelokan demi kelokan. Pada suatu pagi, saat dingin masih menembus pori , kau akan dapati kota ini begitu sunyi. Hanya sebuah tour malam yang berhenti, di sebuah sudut, yang mungkin masih bisa kau tangkap dari pupil matamu. Kau mungkin akan menganggap kota ini terlalu sendu. Orang-orang yang berkerumun, seperti ingin merapikan mimpi.

Tetapi ini bukan mimpi. Kota ini telah lama begini. Ya, walau ada satu-dua perubahannya. Tetapi bukankah hidup selalu berubah bukan? Sebagaimana orang-orang yang datang dan pergi itu. Dari kota yang bernama Tanjungkarang itu, akan kau hisap dirimu sendiri. Ada banyak tempat-tempat yang bisa kau kunjungi, untuk menentramkan hati. Bangunan gedung yang berjajar, meski nampak semrawut --tetapi semua kota di belahan dunia mana pun akan seperti itu. Kota ini begitu berwarna-warni. Hari-hari sibuk yang sigap menyuluk, bagaikan sebuah mantra yang terus dituliskan. Tanjungkarang, tempat orang mencari impian, kau pasti mudah akrab dengan terminal pasar bawah, stasiun, lorong king, joker --di mana kau dapati perempuan-perempuan yang mengeluarkan getah kecantikannya. Perempuan-perempuan yang senantiasa senandung rindu. Duh, kota ini sudah terlalu banyak ditulis dalam sebuah puisi. Seseorang pasti akan kecanduan setiap melalui ruas jalan di sepanjang kota ini. Ada yang pasti, tetapi tidak dapat dirasakan. Kesemuanya berbulir, menjadi butir-butir bayangan --barangkali bukan masa lalu, tetapi kenangan seseorang terhadap sebuah kota memang tak pernah luntur.

Dan di warung-warung yang masih buka hingga larut malam itu, kau akan menemui semacam pijar cahaya yang tak henti-henti bersinar. Seperti minta untuk dikunjungi, barangkali kau akan membeli rokok, atau singgah di sebuah warung yang menjual minuman. Jika malam datang, udara di sini lumayan dingin, membuat kau harus menyilangkan kedua lenganmu agar dapat mendekap hangat tubuh sendiri. Sampai saat ini, perstiwa tersebut masih tetap terjadi. Orang-orang yang selalu berjaga, melawan kantuk, di sebuah ujung malam yang coba ditembus cahaya buatan manusia. Kau mungkin akan membayangkan cahaya itu semacam lenturan yang membuatmu terkesiap, seperti cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Cahaya buatan manusia yang menjadi penunjuk bagi sebuah perjalanan malam.

Jika malam datang, masih ada keriuhan yang terdengar. Tetapi perlahan-lahan menjelang dini hari suara hingar itu lenyap dengan sendiri. Kota ini akan jadi sepi. Seperti menanti pagi agar cepat kembali, meminta matahari menyinari bayang-bayang orang-orang yang menagih janji. Bayangan yang selalu mengejar rutinitas yang semakin mengeras. Dan kau temui kembali sebuah kota yang sengat dengan suara gaduh. Kendaraan ilir mudik, seperti aliran sungai yang terus mengalir. Menuju sebuah muara.

Ya, inilah kota yang melulu ditulis para penyair. Kota yang ajaib, seperti menyihir pandangan. Akan kau temui gelandangan di atas jembatan bambu kuning, hanya duduk bersila, dengan rasa harap yang amat sangat akan gemerincing uang logam. Gelandangan yang membuatmu mengenyek, mencibir sinis. Tetapi gelandangan itu masih tetap di sana, di sudut kota Tanjungkarang, memilih untuk tetap setia pada cuaca yang menyergapnya. Tetap duduk bersila dengan kaleng karatan di hadapan. Duh, jembatan itu pun cuma tinggal lambang masa lalu, barangkali hampir rubuh. Sementara di bawah jembatan, berderet pertokoan yang menghadirkan kemewahan baru. Bank-bank yang menyimpan uang dilengkapi dengan pendingin ruangan, yang kadang membuatmu merasa cemburu.

Jika malam datang, di depan pertokoan itu --berjejerlah perempuan-perempuan yang menunggu malam, juga dengan harap-harap cemas. Perempuan-perempuan yang memilih untuk cekikikan ria, beberapa dari mereka ada yang mengisap rokok. Duh, bibirnya itu, seperti mengingatkanmu pada sebuah cinta yang tersia-sia. Dengan pakaian yang menawan, semacam menumbuhkan ingatan purbamu pada suatu tempat.

Next