Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Namun, yang membuat saya heran, semangatnya yang terus meledak, seakan tak mau menyerah pada apa saja. Semangat yang seperti bom atom ingin meledak, tak bisa dicegah sedikitpun. Setelah itu, entah kemana ia pergi? Pada saat kota-kota tak dijaga orang-orang berseragam hijau dan bersepatu lars. Pada saat gedung-gedung menyemburkan kenyerian sama, gedung-gedung yang begitu ringkih dan cepat sekali menghitam diterjam api dengan kepulan asap yang membumbung tinggi ke udara. Saya coba bertanya, kepada orang yang terakhir kali melihatnya, namun semua menggeleng. Mengalihkan diri, tak pernah mendengar seorangpun yang bernama Pedro sebelumnya. Menggigit bibir sampai pecah. Menggelengkan kepala. Berlagak pikun dan tolol. Lalu, saya coba bertanya kepada langit yang biru, dan lagi-lagi jawaban hampa yang saya temukan. Tak ada secuil jawaban yang singgah.Entah kenapa, dengan seketika, saya kembali rindukan puisi-puisi yang pernah ditulisnya. Kebetulan, kebetulan sekali di tempat kost-annya saya temukan beberapa lembar yang tersisa. Sudah menguning memang, namun setidaknya tintanya masih jelas terbaca. Saya temukan berbagai kengerian baru di sana. Tanpa sadar, kali ini, saya berubah menjadi manusia paling cengeng. Betapa pahit kegetiran yang ada, setidaknya setelah saya membaca tulisannya itu. Sebagaimana pula ratusan luka yang senantiasa dipendam, luka-luka yang siap meledak dan pecah. Belingsatan. Anehnya pula, setelah beberapa tahun berlalu, orang-orang masih bertanya pada saya, “Kemana Pedro pergi?” seperti biasa saya akan tetap menjawab “Entah.”“Tapi, kamu ‘kan sahabatnya?”“Ya, saya tidak tahu!” nada bicara saya meninggi dan untungnya orang-orang tersebut akan cepat memaklumi. Lalu salah seorang dari mereka berbisik, “Sudah biarkan saja, namanya juga baru kehilangan seseorang,” Berlalu, begitu saja.Namun, selang beberapa bulan kemudian orang-orang lainnya akan terus berdatangan. Bertanya dan terus bertanya. Bertanya dengan pertanyaan yang sama, “Kemana Pedro pergi?” Saya sendiri, tak habisnya mengerti, entah kemana Pedro pergi. Setelah beberapa pemerintahan berganti, perekonomian yang tak kunjung stabil. Isu-isu pemisahan beberapa daerah semakin meluas. Semua orang menjerit dengan penuh ketidakpuasan, semua orang menatap curiga antara satu dengan lain.Pedro tak lagi berkabar seolah-olah ia memang telah lama lenyap di belahan dunia sana. Singgah ke dunia yang tak pernah diketahui sebelumnya. Ia hilang sama sekali. Dan, saya terus membuka catatan puisinya, saya menangkap perih yang sama. Sebuah perih yang terus berkembang biak, menjadi berpuluh-puluh, beratus-ratus. Pecah, membuat harus tetap bergerak. Bangkit dan melawan. Luka yang sepertinya telah berumah dan beranak-pinak.Barangkali, saya semestinya melupakan dirinya, menyusun rencana hidup diri saya sendiri dari awal. Saya mesti melupakannya. Tapi, adakah yang bisa menanggalkan ingatan? Hari-hari berlalu, negara terus saja bising, harga-harga naik, dari listrik sampai gaplek. Nilai uang selalu saja membengkak, bagai perempuan yang sedang hamil besar. Inflasi, negeri yang tak terurus. Dan, Pedro tak kembali, sedikitpun, tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Meski kota terus tumbuh, gedung-gedung meninggi-menampakkan ruangnya di udara. Orang-orang membengkak.***KEADAAN ini terus saja berulang, setiap malam, setiap kali orang-orang bertemu dengan saya. Mengulang pertanyaan yang sama. Menanyakan pertanyaan yang itu-itu saja, “Kemana Pedro pergi?” Bahkan, secara tidak sadar saya kini telah hapal dengan pertanyaan itu, sebelum orang-orang membuka bibirnya, mengucapkan kata-kata itu setiap kali bertemu saya. -Kemana-Pedro-pergi-?-Bahkan, telinga saya sudah begitu kebal. Saya menganggap sahabat saya itu benar-benar telah hilang. Tertelan oleh bisingnya peradaban yang mendadak cepat berkembang. Membengkak. Menggelembung, pecah, memuncratkan nanah-nanah yang mengamis. Pedro, entah, dimana, entah pula, —apakah ia masih bernapas menghirup udara yang sama dengan saya. Namun, orang-orang kembali pada saya, terus saja menanyakan pertanyaan yang sama. Saya begitu cepat jadi pembosan terhadap gejala ini. Maka, jika kalian pula bertanya pada saya, “Kemana Pedro pergi?” percayalah sepenuh hati, saya akan menjawabnya dengan menggelengkan kepala. Atau berucap lemah, “Entah.” Sebab, saya sendiri tak pernah tahu di mana Pedro sekarang. Jadi, tolong jangan tanyakan kemana Pedro pergi, terlebih lagi kepada saya!

***

Kedaton, Bandar Lampung, 6 Maret 2002*) dari sebuah lirik lagu yang dinyanyikan oleh Broery

Sebelumnya: Jangan Ditanya Kemana Pedro Pergi 1