Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Sebagai wakil rakyat, Zorta ditunjang berbagai fasilitas untuk mempermudah pekerjaannya. Mobil dan rumah dinas, tunjangan kesehatan, tunjangan keluarga, dan tunjangan lain-lain. Belum lagi jabatan yang diduduki, membuatnya gampang main tunjuk atau mengeluarkan memo-memo siluman. Bisnis sampingannya sebagai broker proyek-proyek kakap juga tak sedikit. Meski hanya bermain di belakang layar, tapi uang mengalir lancar ke rekening banknya.

Siapa bisa menebak nasib orang? Dulu Zorta dikenal sebagai rentenir plus makelar. Sekarang ia jadi warga terpandang. Mulut manisnya berjasa besar bagi partainya. Kalau sedang menabur janji, pendengarnya seolah terhipnotis. Tapi bukan sedikit yang mengoloknya. Zorta diibaratkan sayur kebanyakan kuah, tak jelas lagi isinya. Kini orang-orang yang pernah mencemooh, berbalik seratus delapan puluh derajat. Mengangguk dan senyum simpul ketika Zorta melintas di depan mereka.

Beberapa minggu berlalu. Keinginan Zorta memiliki makam pribadi belum juga pupus. Ketika kongkow dengan beberapa rekannya di sebuah cafi, ia menyisipkan gagasannya.

"Minta tunjangan pemakaman?! Apa nggak kelewatan, tuh?!" sahut seseorang. Semua yang duduk melingkari meja itu terkejut mendengar usul Zorta. Tatapan mereka mengandung berbagai pertanyaan.

"Kalau tunjangan kematian, sih, bisa. Tapi, liang lahat? Apa you sudah gila?" sambar yang lainnya.

"Ssst, jangan keras-keras", Zorta melirik kiri kanan. "Jangan sampai obrolan ini di dengar kuli tinta. Kalau mereka tahu, bisa dikecam habis-habisan. Apa lagi alasan kita nanti? Ini kan baru sekadar wacana.. " suaranya mendesis bagai ular.

Seorang di antara mereka yang telah melantak tiga botol bir dan sejak tadi bertingkah norak menggoda penyanyi di panggung, angkat bicara. "Ah, itu ide bagus, kawan. Kalian tahu, zaman sekarang kuburan sudah banyak digusur. Di bangun perumahan, pertokoan, atau pabrik. Padahal tiap hari ada saja yang mati. Nah, kalau giliran kita tiba, mau dikubur dimana? Kalian mau dikubur berdiri atau dilarung ke laut?!" Zorta mesem dalam hati. Meski menceracau, tapi kata-katanya barusan membuat mereka yang duduk mengepung meja itu terdiam.

* * *

Time goes on. Zorta telah disibukkan dengan urusan dinasnya. Ia tak lagi risau memikirkan liang lahat. Tiap hari ada saja masalah yang menguras tenaga dan pikirannya. Rapat-rapat melelahkan, mempertahankan posisinya agar tak digeser lawan politik, study tour ke kota lain, kongkow di cafe atau karaoke dengan alasan entertaint untuk mendapatkan proyek miliaran, dan, tentu saja, mengurus wanita simpanannya yang makin rewel menuntut itu itu.

Zorta terhenyak ketika sebuah kabar duka singgah di telinganya. Jam delapan malam, ia ditelepon seorang pejabat yang mengabarkan bahwa putranya baru saja meninggal. Zorta kembali teringat keinginannya yang lama terlupakan. Malam itu juga ia langsung menuju rumah rekannya. Zorta menyopir sendirian. Sepanjang jalan, bayangan tentang liang lahat bangkit kembali.

Kegelisahan makin kentara setibanya Zorta di tempat tujuan. Ia nampak linglung dan serba salah. Setelah mengucapkan belasungkawa pada rekannya, ia bersandar di salah satu kursi. Jika ada pejabat yang datang, ia tak banyak bicara. Hanya bersalaman sambil tersenyum kikuk, lalu kembali duduk. Tak juga dipedulikannya bisik-bisik yang mengatakan bahwa anak rekannya itu meninggal karena over dosis narkoba, tapi demi menutup aib, keluarganya beralasan meninggal karena sakit lever.

Zorta telah memutuskan. Besok, ia tak mau ikut mengantar jenazah. Ia trauma melihat deretan nisan yang berjejal-jejal seperti orang usiran tak berdaya di pengungsian. Ia adalah pejabat yang ditakuti dan bisa menakuti. Berada di kuburan akan mengingatkannya pada kematian, batas yang memisahkannya dari kehidupan. Padahal ia masih belum puas meminum air laut. Ia masih haus dengan nikmat dunia. Tidur diatas uang dan di perut perempuan, disanjung para penjilat yang mengelilinginya, dan selalu tertawa tanpa ingin menangis.

Zorta memang tak perlu bersusah payah datang ke pemakaman. Paginya, begitu bangun tidur, Zorta panik. Ada liang lahat menyambanginya, menari-nari di pelupuk matanya. Zorta mengucek-ngucek mata, menyangka ada kesalahan kecil dengan indra penglihatannya. Tapi sampai Zorta menggigil keringat dingin, bayangan seram itu tak juga mampus. Bahkan selalu menguntit kemanapun Zorta lari. Ia tak berani menceritakan keanehan itu pada siapa pun. Bisa-bisa ia dituduh gila. Sampai sekarang, liang lahat itu bersemayam dalam otak dan batin Zorta. Membuatnya semakin takut pada kematian.

***

Bandar Lampung, Nov 03

Sebelumnya: Liang Lahat Zorta 1