Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Mata yang Mudah Kasihan

Cerita Pendek Adek Alwi

Istriku mempunyai mata yang mudah jatuh kasihan. Melihat wanita-wanita malam dirazia aparat ketentraman-ketertiban, yang diseret, ditendang, atau didorong ke atas mobil dengan bak terbuka seperti yang ditayangkan televisi, dia merasa kasihan. Melihat pengamen dan pengasong di perempatan lampu merah dia juga kasihan. Melihat pengemis terseok-seok di bawah terik matahari, apalagi yang tua renta serta anak-anak, lebih-lebih lagi. Tangan istriku segera terjulur di jendela membagikan uang, kala mobil kami dihentikan sopir di perempatan jalan berlampu merah."Awas. Jangan sampai jarimu pula dikerat mereka!" kubilang.Aku memang tidak menyukai perbuatannya. Bagiku itu kecengengan dan kelemahan. Pekerjaan sia-sia, mubazir, dan juga teramat berbahaya. Para pemalas yang berkeliaran di lampu-lampu merah itu dalam beberapa detik bisa berubah menjadi serigala, memangsa siapa saja termasuk atau apalagi si pemberi uang. Bukan sekali dua kali hal itu terjadi. Dan setiap kali selalu disertai cucuran darah, bahkan dengan melayangnya nyawa.Tetapi istriku tak menggubris peringatan-peringatan itu. Istriku diam saja saat diingatkan, apalagi sekadar disindir-sindir. Belakangan malah ia memandangku sembari tersenyum. Ya. Awak pula yang dilihatnya dengan sinar mata menyorotkan rasa kasihan, sehingga jengkelku menjadi-jadi."Aku tidak mengada-ada," kataku suatu kali, seusai dia melakukan perbuatan konyol itu. "Sering terjadi, begitu kaca mobil dibuka sebilah belati langsung ditodongkan lewat jendela. Kadang-kadang kapak berwarna merah. Dan, cincin, gelang, kalung, subang, ponsel, tas, uang, dompet ... pokoknya semua dikuras bajingan-bajingan itu!""Tapi itu kan penodong atau perampok, Bang.""Sama saja!" kataku geram. "Kamu tahu, mereka terorganisir. Ada yang mengatur. Ada pembagian kerja yang rapi dan solid. Ada mata-mata, pemberi isyarat, dan eksekutor. Juga pembagian pendapatan. Mengemis bagi mereka hanya sampingan, sebagai kedok, bukan target utama!""Ah, Abang berlebih-lebihan." Istriku tersenyum. Dipandangnya aku dengan sinar mata mengasihani. Lalu beralih melihat jalan raya ketika aku menggeleng-geleng."Tidak!" kataku. "Banyak orang tahu mereka berpura-pura!""Bagaimana mereka berpura-pura kalau berjalan saja tertatih-tatih, Bang," balas istriku. "Mata mereka kuyu lagi. Wajah mereka juga tidak ada yang bercahaya kulihat.""Ala, akting itu. Sinetron, telenovela!"Dasar istriku, dia tetap tidak terpengaruh. Juga waktu kusindir, mestinya dia menjadi menteri sosial saja, atau sekalian menggantikan Bunda Teresa, istriku tetap tidak goyah. Senyumnya malah tambah melebar dan matanya makin rajin memandangku dengan sinar iba. Mengjengkelkan sekali. Istriku beranggapan, orang-orang itu sungguh tidak bersandiwara, tapi benar-benar lapar dan terlalu banyak beban. Karena itu langkah mereka terseok-seok, mata mereka kuyu, dan wajah mereka muram tidak bercahaya.Artinya, istriku terus melakukan kebiasaan buruk yang sangat berbahaya itu. Menjulurkan lengannya yang lampai kuning langsat lewat jendela saat mobil kami berhenti di depan lampu pengatur lalu lintas diperempatan jalan, membagi-bagikan uang dengan jarinya yang lentik berhiaskan cincin berlian.Aku selalu berdebar setiap kali menyaksikan adegan itu. Aku cemas dan risau. Dongkol bukan kepalang. Di kantor pun tempo-tempo aku merasa cemas dan jengkel membayangkan kalau istriku tetap dengan kekonyolannya, padahal dia pergi berdua dengan sopir. Apalagi bila dia nekat menyetir sendiri, misalnya menjemput anak-anak ke sekolah. Bagaimana jika sebilah belati sekonyong-konyong ditempelkan tangan kekar bertato ke lehernya yang jenjang? Atau kapak merah tiba-tiba teracung, siap menebas lengannya yang ramping.Melihat istriku tenang saja dan tidak percaya kemungkinan-kemungkinan buruk itu bisa terjadi, aku juga heran serta bertanya-tanya dalam hati. Apa yang dicekokkan orangtua dan lingkungannya dulu di kampung sehingga dia begitu yakin pada manusia? Mengapa belasan tahun hidup di Jakarta, kuliah, bekerja, berumah tangga tidak membuat dia berubah? Padahal dia mestinya tahu di kota ini kepedulian harus kita perhitungkan masak-masak. Perasaan jangan sekali-kali diumbar. Di kota ini perasaan dan kepedulian tak ubahnya fulus. Menyelamatkan jika dihemat, dan mencelakakan bila dihamburkan untuk sesuatu yang tidak berguna.Kupandang wajahnya dengan harapan menemukan jawaban di sana. Namun istriku asyik menyimak berbagai adegan di jalan raya dengan mata yang mudah jatuh kasihan itu.Dan mobil kami dihentikan sopir lagi di perempatan berlampu merah. Bagai kerumunan lalat, orang-orang malas itu beterbangan ke jalan, hinggap dari mobil ke mobil. Suaranya mendengung-dengung. Istriku membuka jendela, menjulurkan lengannya yang lampai dan membagi-bagikan uang kepada setiap pengemis yang mengerumuni mobil kami. Mungkin ada lima atau sepuluh orang."Kamu benar-benar tidak mendidik!" kataku mencela.Tiba-tiba dia tertegun. "Apa maksud Abang?" tanyanya dengan alis bertaut dan suara yang tak seperti biasanya."Apalagi?!" aku membalas dengan perasaan dongkol."Bahwa mereka malas berusaha, karena lebih gampang dapat uang dengan meminta-minta?""Tengok yang kamu beri uang barusan," kataku. "Kakinya utuh, dan tangan mereka pun tidak satu setengah!""Tetapi itu bukan alasan memvonis mereka pemalas!" istriku menyergah. Aku tersenyum sinis."Jangan senyum seperti itu, Bang.""Lalu?""Keadaan yang membuat mereka jadi peminta-minta!" sergah istriku. "Toh tak banyak yang bisa diperbuat orang sekarang. Semua menyempit, serba sesak.

Selanjutnya: Mata yang Mudah Kasihan 2