Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jiwa Nek Suni seperti disayat-sayat sembilu. Alangkah getir nasibnya kini. Di usia senja, ia ibarat sampah. Jadi benalu semua orang. Setiap yang dilakukannya selalu salah. Dan sekarang, darah dagingnya sendiri tega membuangnya ke panti jompo. Nek Suni nelangsa. Ia terkenang rekan-rekan seusianya yang sudah lama pergi. Kenapa Tuhan belum juga mencabut nyawaku, rintih Nek Suni dalam hati.

***

Suatu hari, keluarga Handoyo gempar. Nek Suni hilang. Tetangga sekitar rumah ditanya satu per satu, barangkali ada yang melihatnya. Tapi semua hanya menggeleng. Handoyo kalut dibuatnya Sanak famili dan kantor polisi dihubungi. Di zaman kejam begini, jalanan kota besar seperti mulut harimau lapar. Kejahatan bisa menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Nek Suni tentu mangsa yang empuk buat para penjahat. Apalagi ia tak tahu seluk-beluk kota ini.

Dua hari kemudian, sekitar jam tujuh malam, telepon berdering. Handoyo bergegas mengangkatnya. Tombol speaker ditekan supaya yang lain bisa mendengar. Mereka menahan napas. Berharap telepon kali ini membawa kabar tentang Nek Suni. Mereka menduga-duga siapa yang menelepon. Dari kantor polisi, dari orang baik hati yang telah menemukan Nek Suni, dari famili, atau penculik yang minta tebusan….

Tapi semua bayangan buruk itu pupus begitu terdengar suara Marto di seberang sana. Rupanya, ia interlokal dari kampung.

"Ibu sudah pulang, Bang."

"Ha? Pulang? Kapan?"

"Tadi sore, diantar polisi. Kami kaget sekali melihatnya."

"Ha?! Diantar polisi?"

Handoyo terperangah. Astuti, Rudi, Lusi, dan Lastri menoleh serempak ke arahnya. Mereka tak percaya. Bagaimana caranya orang setua Nenek dan menurut mereka sudah pikun, bisa pulang sendirian ke rumah Marto yang jauh di seberang pulau sana. Lalu, diantar polisi? Apa yang dilakukannya?

Terdengar tawa Marto. Nek Suni tersesat di terminal, lanjutnya. Untung ada polisi yang mengantar Nek Suni sampai ke rumah. Handoyo menggelengkan kepala sambil mengembuskan napas lega.

"Coba kau tanya Ibu, kenapa pakai acara minggat segala? Kami di sini kelimpungan, khawatir terjadi apa-apa sama Ibu."

"Sudah, Mas. Semula Ibu bungkam. Tapi setelah dibujuk Suko, baru mau cerita. Katanya dia kangen sama bunga mawar di kampung, Mas. Makanya Ibu langsung pulang tanpa pamit." Handoyo tambah terkesima mendengar alasan yang nyaris tak masuk akal itu.

"Halo,.. Mas Handoyo…hallo?!"

"Eh, ya, ya, Kupikir Ibu ndak betah tinggal di sini."

"Oh, ndak, Mas. Ibu kerasan di kota. Tapi, ia lebih senang di sini, sambil mengurus bunga mawarnya." Handoyo menarik napas lega. Ada-ada saja, pikirnya.

"Mas, Ibu titip salam buat keluarga di sana. Oya, beliau juga ada amanat khusus buat Lusi. Katanya, bunga mawar di depan rumah tolong dirawat baik-baik. Jangan sampai rusak. Kalau rusak, ia akan menyesal seumur hidup. Begitu pesannya…."

Gagang telepon di tutup. Seisi rumah itu saling berpandangan tak mengerti. Lalu, tatapan mereka serempak tertuju pada Lusi, seperti menagih jawaban darinya.

Bandar Lampung, Oktober 2002

Sebelumnya: Bunga Mawar Nek Suni 1