Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

AKU sendiri, tak pernah mengerti mengapa dirinya bisa sampai seperti itu. Yang aku tahu, ia seperti ingin selalu mengembara. Bagai burung yang selalu mengepakkan sayapnya, melintasi kebiruan langit, melepaskan kegalauannya pada matahari, udara, kendaraan, gedung-gedung jangkung yang mengilalang. Ia melesap, tak berbekas, melalui erangan yang jauh tentang mimpi-mimpi yang diucapkannya berkali. Sepertinya pula, ingin ia gapai impian itu, menggenggamnya agar tak lepas lagi pada kedua telapak tangannya. Menggenggamnya erat-erat, sekadar memberitahukan seisi dunia tentang hasratnya yang lama tertunda. Ia mengerti, apabila ia genggam harapan itu terlalu erat, telapak tangannya akan berdarah, dirinya akan merasakan kepedihan. Namun, ia mesti mencobanya. Bukankah manusia harus seperti itu, mencoba terlebih dahulu, sebelum akhirnya pasrah? Ia teringat masa lalu yang buram. Ia hirup udara itu perlahan, berharap segera melupakannya. Berharap itu hanyalah sebuah mimpi buruk saja, yang tak mesti terulang kembali. Perlahan, sejenak, ia berdoa--mengucapkannya dengan gemetar, entah, pada siapa yang mesti mengabarkannya? Namun, ia coba mengucap doa, supaya semua bisa berjalan dengan apa adanya. Ia tertunduk. Murung. Jalan pikirannya kembali mengembara. Menyatukannya dalam dimensi-dimensi yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebelum tersesat semakin jauh, ia mencoba tanyakan kepada orang lain. "Di manakah ini?" Namun, orang-orang itu hanya berdiam diri saja. Menatap dirinya seperti sedang bercakap pada patung. Lantas menggeleng. Suatu bahasa tubuh yang bermakna ketidaktahuan yang panjang. Seperti telah kehilangan bahasa dari dalam jiwanya. Tak ada satupun yang memberikan atau membawakan dirinya peta. Sekadar menunjukkan arah kompas atau mata angin, "Kemana akan melangkah selanjutnya?" Sebenarnya, ia butuh sekali masukan, seseorang yang bisa memberitahukannya, "Pedro yang ini salah, yang ini benar!" Tapi, tak ada yang peduli, ia dianggap sebagai seonggok bangkai busuk yang berjalan di kota ini. Dianggapnya, tubuhnya telah penuh belatung yang tak boleh didekati atau disapa orang. Tak seorangpun sedia menjadi peri bagi dirinya. Semua orang memaki, menghardik, mencaci, dengan cara apapun. Aneh dan heran! Sejenak, setan dalam hati tertawa riang, bertepuk tangan. Seperti ingin tersenyum dengan puas sekali. Ah, ia sendiri begitu ngeri jadinya!

***

Unila, Mei 2002

Sebelumnya: No Maden 1