Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Semakin dan Semakin ke Barat

Cerita Pendek Budiarto Danujaya

LELAKI itu adalah masa kecilku. Masa kecil berterik matahari di gersang sawah kemarau pada musim burung-burung melintas, ketika mosaik retakan tanah mendidihkan cairan tubuh lewat telapak kaki tak beralas kami--aku, adikku, dan anak-anaknya. Masa kecil berbasah keringat menyambung, mengikat, dan menancapkan tonggak-tonggak bambu setinggi belasan meter untuk menyangkutkan jaring penangkap burung. Masa kecil berlarian ke sana kemari menghalau camar, dara laut, ayam-ayaman, belibis, dan sesekali blekok maupun kuntul putih pada petang harinya, agar berbelok terbang menerjang jaring puluhan meter yang kami bentang di sepanjang pematang sawah. (Wah, kepala burung-burung yang naas itu menancap pada jaring sampai ke leher, sia-sia menggelepar mencoba melepas diri, sampai akhirnya dengan napas tersengal tergelantung seperti sebuah shuttlecock yang menancap dalam pada net setelah dihantam King Smash yang termasyhur itu.)

EMPAT puluh tahun lalu kawasan Kapuk masih bentangan ladang, sawah tadah hujan, empang, rawa, dan belukar di pinggiran kota Jakarta, pinggiran yang paling pinggir. Di sela hamparan luas dan terbuka itu terselap-selip perkampungan-perkampungan kecil masyarakat campuran ataupun sepenuhnya Betawi. Di pondok gedek tepat di seberang rumahkulah lelaki kekar setinggi kusen pintu itu tinggal bersama anak-anaknya, dua bocah temanku keluyuran, mencuri gurami di empang, mengail-getar gabus di selokan sawah, menawu lele di rawa, maupun mengetapel tekukur di kuburan.

Itulah Pak Buari yang kukenal, tinggi kokoh seperti batang pohon asam, dengan lengan penuh cacing otot yang sanggup menggotong belasan tonggak jaring seorang diri. Kuingat betul langkah yang tergesa dan penuh hampir tiga kali lebar langkahku, suara paraunya yang habis menghalau burung, dan wajahnya yang penuh bekas cacar tapi jauh dari menakutkan. Sulit kulupakan sosoknya yang bersemangat sepanjang musim penangkapan burung. Sungguh berbeda dengan sosok lunglai tak bersemangat yang berdiri di hadapanku ketika keusilan hidup mempertemukan kami kembali di utara lintasan tol Ciujung; sosok yang mendongeng jauh lebih panjang lebar lewat kerak kusam kulit dibanding lewat bibir.

"Lintasan burung-burung itu terus semakin ke barat... dan kami terus berpindah semakin ke barat dan semakin ke barat pula mengikuti. Entah kenapa mereka sekarang ogah masuk pinggiran Jakarta seperti dulu," desahnya ditanya alasan menjaring di situ, demikian lirih seakan khawatir mengejut-terbangkan kawanan burung itu semakin ke barat lagi. Jejak suaranya yang keras parau seakan coba dihapus dari ingatanku.

Angin melenting-lentingkan tonggak-tonggak bambu, melata perlahan menjilati bantaran Sungai Ciujung, tempat mereka menancapkan penyangkut jaring itu. Embusannya yang berdebu dan panas, laik dengus puncak sebuah percintaan yang sia-sia, memedihkan bola mataku. Aku terkenang masa-masa menunggu di rembang petang, ketika angin yang menyusur dari barat kerap berarti kabar baik, bak angin buritan bagi perahu layar, mendorong kawanan burung liar lebih bergegas tiba di pinggiran barat Jakarta. Aku terkenang ketika sesorean kami waswas menatap cakrawala barat, dan melonjak gembira kalau satu-dua burung liar mengalami salah sinyal dalam kepala mereka dan terbang mendahului rombongannya. Biasanya, tak lama kemudian kawanan burung-burung itu akan melintas dari barat ke timur menyusuri pantai, empang, sawah, ladang, dan rawa di sepanjang kawasan utara, dulu- mendahului dalam rombongan- rombongan yang semakin besar. Camar dan dara lautlah yang biasanya terbang mendahului. Mereka melintas menuju pantai-pantai teluk Jakarta yang lebih sepi dan terbuka, yang lebih menjanjikan ikan, cere, kecebong, ulat, belalang, ataupun cacing; dan lalu juga semak kangkung-kangkungan, belukar bakau, atau pepohonan nyamplung untuk bertengger menanti fajar merekah. Terkadang mereka tiba dalam rombongan yang sangat besar sehingga langit Kapuk yang kelabu kelam diracuni asap pabrik-pabrik dari kawasan Angke, di rembang petang itu mendadak ditumpahi gumpalan-gumpalan bayang-bayang gelap yang melebar-menyempit membendung sisa-sisa semburat jingga senja.

Kenangan inilah yang menghentikan mobilku sepulang dari Pantai Carita, ketika tak jauh di utara badan tol Ciujung kulihat jaring burung terbentang di bantaran sungai. Di musim penghujan, Ciujung selalu meluapkan banjir ke badan tol mengakibatkan kemacetan, namun saat itu pertengahan kemarau akhir Juni dan ia tak lebih dari parit satu lompatan dengan kubangan-kubangan lumpur di kanan-kirinya. (Tentu banyak lele, belut, dan moa terperangkap di sana menunggu kecipak sejuk hujan, atau gemertak panas minyak di penggorengan.) Segera kukenali pokok asam itu walau sekarang kurus, melengkung, dan masai.

"Cepat betul waktu berlalu ya Pak," sapaku menghampiri.

Dia tak segera mengenaliku, namun kisah menjaring dan menawu ikan di masa lalu segera membuat matanya terbelalak. (Kami pernah menjadi tontonan banyak orang ketika mendapat tangkapan spektakuler di rawa-rawa Muara Buaya: seekor sembilang berbobot empat kilogram. Sungguh kenangan yang sulit dihapus, ikan itu betul-betul montok laik bayi yang getol menyusu pada ibunya.) Seperti bebek bingung, dia langsung berteriak-teriak memanggil rombongannya. Baru kusadari kedua teman sepermainanku dulu juga ada dalam rombongan itu.

"Sekarang kami tinggal di sini." Pak Buari menunjuk kampung di balik kelokan sungai. "Sejak di Kapuk, sudah lima kali bapak sekeluarga pindah sebelum tinggal di sini. Selalu semakin ke barat, mengikuti lintasan burung-burung. Sekarang, di daerah ini burung-burung juga terus menyusut; dua tahun belakangan malah hampir tak ada lagi rombongan besar melintas. Sekarang pedagang burung goreng langganan bapak dipasok penjaring dari Banten dan Lampung; mungkin bapak juga harus segera pindah ke sana."

Aku membayangkan hutan beton Jakarta, dan ratusan kawasan perumahan baru yang mengepungnya dari tiga penjuru, menggantikan sawah, ladang, rawa, empang, pantai, semak, padang rumput dan ilalang, bahkan kuburan, telah menghalau burung-burung itu menjauh. Niscaya burung-burung itu tetap harus menjalani ritual alami mencari makan, tapi lintasan mereka semakin pendek ke barat, semakin dan semakin ke barat... tempat matahari juga terbenam. Burung-burung itu tergebah, namun, sepertinya, bukan hanya mereka....

Selanjutnya: Semakin dan Semakin ke Barat 2