Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Begitulah kenangan-kenangan itu selalu mengantarku pulang ke Belinyu pada setiap tanggal lima belas bulan delapan Imlek. Pulang untuk mengadakan ritual sembahyang bulan buat ibu. Agar ibu senantiasa berbahagia di bulan bersama Song Ngo, tukas ayah. Sampai akhir hayatnya, selama berpuluh tahun ayah memang tidak pernah sekali pun lalai mengadakan sembahyang bulan untuk ibu. Betapa kesetiaan dan cintanya itu membuatku terharu.

"Bagi ayahmu, ibumu adalah perempuan yang sempurna. Tidak ada perempuan yang sepadan dengan dia di dunia ini," tukas Fuk Suk yang tahu-tahu sudah berada di sampingku. "Padahal sembahyang bulan sebenarnya tak perlu lagi dilakukan bila orang yang menjadi anak angkat sang dewi sudah meninggal."

Aku hanya tersenyum, lalu menuntun lelaki tua itu ke bangku panjang di teras rumah. Kemudian menuangkan secangkir teh pahit untuknya dan menawarinya rokok. Dia meraih bungkus rokok yang kusodorkan, mengeluarkan isinya sebatang dan menanyakan korek api. Namun baru saja dua hisap, dia sudah terbatuk-batuk.

"Fuk Suk batuk? Ah, saya tidak tahu. Lebih baik jangan merokok kalau batuk, Suk. Sudah berobat?" tanyaku tidak enak. Tetapi dia hanya menyeringai.

"Ai, kau ini Jong, tak usahlah repot mencemaskan orang tua ini. Beginilah kalau sudah tua, badan celaka ini dingin sedikit saja sudah bertingkah macam-macam. Tak perlulah berobat segala!" Dia tertawa, "Hay, padahal dulu A Suk bersama ayahmu keluar masuk kampung berjualan kain. Puluhan kilo kami berjalan kaki, tidak ada sepeda, apalagi motor kayak orang-orang sekarang."

"Padahal ayahmu itu fu lo chai...11 Tetapi demi ibumu, ia rela hidup susah. A Suk sungguh salut padanya!" Fuk Suk terus berkisah. Sepasang matanya yang sudah rabun berbinar-binar, tak berkerdip menatap rembulan. Seakan-akan ingin meneropong semua kenangan.

Aku jadi termangu. Perempuan sehebat apakah ibu sesungguhnya, sehingga ayah yang begitu lembut dapat menjadi demikian keras melawan kakek? Aku memang telah terobsesi untuk mencari sosok seorang perempuan seperti ibu yang selama ini diceritakan ayah. Dan sampai usia yang sudah melewati tiga puluh ini, aku masih tetaplah melajang. Dulu, aku memang pernah dekat dengan seorang perempuan bernama Diana (Ah, nama yang berarti gadis bulan dalam bahasa Inggris). Tetapi alangkah jauhnya perempuan matrealistis itu bila harus aku sandingkan dengan sosok ibu.

Fuk Suk kembali menghirup teh yang kutuangkan. Cerita-cerita terus mengalir deras dari mulutnya. Konon, orang yang bershio ular tidaklah boleh menikah dengan orang bershio ular lainnya, demikianlah sudah kepercayaan yang turun-temurun. Manakala ada yang berani melanggar, alamat bala akan jatuh menimpa. Karena sepasang ular akan saling mematuk. Keluarga yang dibangun tidak pernah akan harmonis dan tenteram, penuh oleh percekcokan. Itulah yang disebut dengan sat sen.12 Dan bila ternyata pernikahan itu berjalan bahagia, itu pertanda kelangsungannya tidak akan lama. Bukan pula ketidakmungkinan, bila bala itu menjalar-jalar hingga kepada keluarga masing pihak. Itulah pokok persoalannya, ketika ayah jatuh cinta kepada ibu. Sama-sama bershio ular!

Ah, dua orang muda yang malang. Tentu bukanlah salah mereka, tetapi takdir langit semata. Tetapi yang membuat kakek lebih terperangah, ayah justru membuat kesalahan semakin besar karena ibu ternyata adalah putri musuh bisnisnya! Bukan sembarang musuh, tetapi Bong Hai Khin adalah musuh besar dengan dendam berkarat. Konon, sebagai sesama pendatang dari Kwan Tung, kedua-duanya sama-sama membuka toko kelontong di pasar. Sama-sama beruntung besar. Namun Bong Hai Khin --yang notabene adalah kakekku juga--tak puas berbagi untung dan bertindak culas. Diam-diam dijalinnya kongsi dengan Belanda, hingga dapat beroleh beras-gula-gabah lebih murah dari syah bandar. Dan dijualnya pula dengan harga di bawah harga resmi pasaran. Kakek kelimpungan. Berbondong langganan berpindah ke toko besar Bong Hai Khin. Dendam pun menetas.

Next
Previous