Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Paul Sintli Joyodigimin mulai kesal. Frustrasi. Perempuan sepintas lalu itu tak secuil pun berbekas dalam mimpi-mimpinya. Mimpi Paul mulai berisi goa-goa yang kosong. Gurun-gurun kering. Dan kelengangan yang dingin. Baru kali ini Paul merasakan dirinya seperti terbang tatkala mengulum sebongkah bayangan hilang perempuan sepintas lalu. "Bagaimana catatan ini akan kuselesaikan, kalau dia berakhir dalam sepintas lalu?" keluh Paul sambil mengucak-ucak matanya di atas tempat tidur.

Akhirnya Paul Sintli Joyodigimin memutuskan untuk mengontak para pejabat kota yang pernah bikin acara yatim piatu beberapa hari lalu. Semua pejabat kota yang dihubungi merasa tidak pernah kenal perempuan sepintas lalu. Semua pejabat kota Surabaya seperti membayangkan cahaya asing setiap diminta mengingat perempuan sepintas lalu. Lubang kemungkinan apa pun dia tempuh untuk menemukan kembali perempuan sepintas lalu. Berhari-hari, berminggu minggu, dan berbulan-bulan. Sia-sia: perempuan sepintas lalu seolah telah menguap dan lenyap.

Saking kesalnya Paul Sintli Joyodigimin mulai tidak tidur di rumah lagi. Dia berjalan dari satu gang ke gang lain: hanya mengejar bayangan perempuan sepintas lalu yang lenyap. Dia panggili perempuan sepintas lalu dengan kalimat, "Sisipus...Sisipus...di mana kamu?" di setiap kegelapan malam. "Bukankah pada setiap kesementaraan kita bisa menamai apa pun?" tulis Paul dalam catatannya. Malam larut dicabik-cabik oleh suara Paul yang mulai kering. Dan tetap saja dia dimakan kesenyapan.

Paul Sintli Joyodigimin mulai menulis lagi di koran-koran. Setiap hari koran-koran Surabaya diberondongi Paul Sintli Joyodigimin tentang manusia perempuan sementara dan sepintas lalu. Anehnya semua koran meneruskan tulisan Paul Sintli Joyodigimin dengan kalimat: dunia sementara dan sepintas lalu. Macam bayangan yang berkelebat-kelebat dan akhirnya lenyap. Semua di matanya sedang dalam kelenyapan, ketiadaan, minimal sepintas lalu. Sementara. Sejenak. Sejenak ada perempuan sepintas lalu, sejenak ada mimpinya tentang tubuhnya yang ingin berubah, tapi tinggal mimpi belaka. Dan sejenak tidak ada siapa siapa, kecuali catatannya yang tak pernah utuh.

Saking jengkelnya Paul Sintli Joyodigimin mengambil pistolnya. Dia kejar bayangan lenyap perempuan itu. Di tiap jam, detik, dan hari perempuan itu dikejar-kejar pistol Paul Sintli Joyodigimin. Saat ini tak banyak yang diinginkan: hanya tampak sebentar, sebentar saja, dan kemudian disempurnakan dengan tembakan: dor! Seolah-olah setelah menembak wajah kelebat perempuan itu akan berakhir semuanya dalam keutuhan. Seolah-olah semua akhir telah dekat. Seolah-olah pistol bisa menyelesaikan dan mendekatkan ketidakjelasan menjadi kekonkretan wajah perempuan itu?

Berkali-kali pelatuk pistol ditarik: dor, dor, dor, dor! Di setiap ruang rumahnya telah ditembaki, seolah-olah menembak bayang-bayang perempuan itu. Seolah-olah darah telah mengucur dan muncrat-muncrat. Seolah-olah Paul Sintli Joyodigimin menembak sesuatu yang ada, padahal tidak ada. Setelah pelornya habis Paul Sintli Joyodigimin mulai menyadari: perempuan sepintas lalu itu tak pernah mau pergi dari bayang-bayang dirinya. Dan hanya satu cara untuk menghilangkannya: mengakhiri dirinya sendiri. Sebab yang sepintas lalu telah nyata dalam dirinya: gelisah.
Surabaya, 10 Agustus 2004.

Previous