Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Dua Perempuan Sunyi

Cerita Pendek Pandapotan MT Siallagan

KETIKA bangun menjelang Subuh,  hal yang pertama sekali dilakukannya adalah menanak nasi, mempersiapkan lauk-pauk, lalu menjerang air. Sambil menunggu air mendidih, ia memberesi kamar tidurnya, menyapu rumah, dan mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya ke kebun kakao. Ia lalu menyeduh teh, hanya segelas, sebab tiada lagi sesiapa di rumah tua itu selain dirinya.

Kebun Kakao

Sambil menyeruput tehnya sedikit demi sedikit, ia biasanya membaca, sambil menunggu matahari bangkit dari peraduannya. Entah mengapa, membaca baginya lebih terasa sebagai sebuah peruntungan ketimbang ingin mengetahui sesuatu. Peruntungan yang membuat gairah hidupnya selalu bangkit. Peruntungan yang membuat ia selalu berada pada perbatasan antara sunyi dan gembira. Itulah sebabnya, dalam usia yang sudah kepala lima, ia tetap mempertahankan kebiasaan membaca sebagai pengisi waktu luang. Lalu, setelah mentari terbit, dia segera bergegas, pergi ke kebun kakao. Seperti seorang pelajar, ia juga selalu membawa buku ke kebun, yang ditaruhnya di dalam bakul bersama goni dan termos tempat air dan makanan. Setibanya di kebun, segera ia akan berjalan menyusuri kebun kakao itu baris per baris, mengawasi buah demi buah, dan memetik jika ada buah yang menguning. Buah-buah yang matang itu kemudian dipecah, diambil bijinya yang berlendir, dimasukkan ke dalam goni, lalu diangkut ke rumah untuk dijemur sebelum dijual. Begitulah perempuan tua itu selalu bahagia melakukan pekerjaannya dari hari ke hari, seperti tak pernah didera lelah. Kalaupun lelah, ia akan istirahat, minum air secukupnya, lalu membaca, seperti mencari kekuatan baru dari buku yang dibacanya.

Kebun kakao itu sudah berumur puluhan tahun, tidak terlalu luas, hanya sekitar 4000 meter persegi. Ia menanam kakao itu bersama suaminya ketika putri semata wayang mereka baru lahir. Dulu, sewaktu mereka menanam kakao itu, banyak cibiran datang dari tetangga bahwa tindakan mereka kurang bijak, karena kelak kakao tidak akan laku lagi. Pada saat itu, orang-orang memang sedang demam menanam sawit. Tapi, orang-orang kemudian takjub manakala kebun kakao itu mampu membuat hidup mereka menjadi lebih makmur. Bahkan, pada saat putri mereka masih duduk di sekolah dasar, suaminya sudah mampu membeli sepeda motor. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suaminya meninggal karena kecelakaan. Ia diseruduk truk pada saat berkendara, sepulang dari kota belanja pestisida.

Mendadak segala sesuatu menjadi berubah sejak itu. Kemampuannya menyikapi hidup, kiat-kiatnya mengasuh anak, dan kecakapannya bersosialisasi dengan penduduk, sungguh membuat orang-orang merasa takjub dan terkesan. Pada saat suaminya meninggal, orang-orang sangat kuatir apakah ia mampu mengurus rumahtangganya. Sebab ia bukan contoh ibu yang baik. Ia sering menjadi bahan gunjingan karena tidak cakap memasak dan mencuci. Ia juga seringkali dipandang sebagai orang yang tak pandai bergaul, seolah-olah berbaur dengan masyarakat desa adalah sesuatu yang hina. Karena itu, ketika ada orang yang berkata bahwa suaminya mungkin diguna-gunai orang sehingga buta pandangannya ketika berkendara, ia merasa ada benarnya, tapi tidak menganggapnya sebagai kebenaran. Ia hanya berkata, "Aku percaya hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan."

Sebenarnya, ia tidak seburuk yang disangkakan orang. Hanya saja, ia belum terbiasa dengan suasana dan pola hidup desa. Ia memang berasal dari keluarga kaya. Ayahnya punya toko penyalur bahan bangunan, juga beberapa kilang penggilingan padi yang sekaligus berfungsi sebagai distributor beras ke kota-kota kecamatan. Di rumah, ia selalu dilayani dua orang pembantu yang selalu siap memanjakannya. Sebenarnya, orangtuanya sudah sejak awal menentang hubungannya dengan Attar Tua, almarhum suaminya itu. Tapi ia bersikeras bahwa ia tidak salah memilih lelaki itu, sebab ia adalah lelaki pemberani, cerdas, punya kemauan, dan masadepannya memancar gemilang dari setiap lakunya. Mereka saat itu sama-sama sedang kuliah di fakultas hukum, aktif berorganisasi, dan rutin menulis di berbagai media untuk menelanjangi kezaliman penguasa. Ia bertemu dengan Attar Tua sebagai sebuah peruntungan yang mengesankan. Mereka memiliki kesamaan yang membuat mereka selalu bersama. Membaca buku, tidak hanya buku-buku hukum, tetapi juga buku-buku lain seperti ekonomi, filsafat bahkan sastra. Mereka juga senang sekali berbicara tentang dunia hewan dan tumbuhan. Bunga, misalnya, selalu mereka maknai sebagai tanda betapa hidup memiliki banyak warna. Pada saat berbicara tentang hewan dan tetumbuhan itulah Attar Tua selalu bercerita tentang kampungnya yang sunyi, ayah-ibunya yang habis usianya diisap ladang karena setiap hari harus banting tulang, demi menyekolahkannya. Dan itu tidak boleh disia-siakan. Itulah sebabnya ia berusaha menjadi mahasiswa aktif, dan merasa sempurna setelah bertemu dirinya, yang juga seorang perempuan pemberani, meski agak manja. Pada saat mahasiswa rame-rame unjuk rasa melengserkan Soekarno, mereka terlibat aktif sebagai penggerak di kotanya. Tapi, setelah Soekarno lengser, dan Soeharto mengambil alih kekuasaan, mereka melarikan diri ke kampung Attar Tua dan segera menikah. Pelarian itu mereka pilih karena banyak rekan-rekan mereka yang lenyap dalam ‘pembersihan' ala Soeharto. Mereka memang tidak terlibat dalam suatu ideologi tertentu, tapi demi keselamatan, mereka memilih hidup di desa Attar Tua. Ayahnya lalu memberi sedikit uang untuk membeli tanah di desa terisolir itu, dan itulah modal yang kemudian mereka pergunakan untuk menanam kebun kakao.

Next