Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
Kumpulan Cerita Pendek
Kisah-kisah hidup manusia
 

Jangan Ditanya Kemana Pedro Pergi

Cerita Pendek Alex R

(in memoriam bagi penyair Wiji Thukul)JIKA ada seseorang yang menanyakan kepada saya kemana Pedro pergi, maka saya akan diam saja. Menggelengkan kepala, lantas membatu, tak mengerti. Diam bukan pula sepenuhnya tidak tahu, atau diam bukan pula berarti saya ini anak emas. Sebab, dengan diam barangkali semua kenyataan akan bagai angin, dapat terasa tapi tidak terbaca sepenuhnya. Dengan diam semua keadaan akan tetap samar-samar, seperti kunang-kunang yang menerangi kepekatan malam. Dan, ditengah keburaman itu segalanya barangkali akan nampak nyata. Akan segala kenyataan yang tak pernah benar- benar terjadi. Tak pernah pasti terjawab. Memasuki dunia keremangan yang penuh dengan kerenyaian dimana antara gelap dan terang tak pernah terjewantah.Saya minta pula, dengan sangat hormat, kepada tuan dan puan, jangan sampai ada seorangpun yang menanyakan kemana Pedro pergi. Bagi saya, Pedro memang tinggal kenangan-telah lama sekali lenyap, menghilang tanpa jejak. Melesap dalam debu hari-hari yang melibas, silih-berganti. Terhempas oleh peristiwa-peristiwa janggal yang terus menyusun hari, mengganti tanggalan. Bahkan, setelah tanggalan di kalender berganti dan tahun baru datang lagi, Pedro tak pernah kembali. Saya sendiri tak kunjung mengerti. Mungkin pula, beberapa orang ada yang menangisi, merintikkan air matanya ke tanah sampai menderas, basah dimana-mana sejak ia pergi. Walau tak tertutup pula berbagai kemungkinan lain, ada orang yang merasa bangga, tertawa terbahak, menyaksikan peristiwa ini. Menghardik dengan kata-kata,”Mampus loh! Mampus!!! Makanya, jangan jadi sok pahlawan. Sok bakal menyelamatkan dunia ”Ya, bukankah kehidupan selalu menyisakan dua buah sisi tersendiri-dimana semua ada lawannya. Ada menang ada kalah, ada putih ada hitam, ada baik ada jahat, ada senang ada sedih. Pedro sendiri, yang mungkin selamanya, mulai hari ini dan seterusnya tak akan pernah bertemu saya lagi. Tak ada jejak yang perlu ditinggalkannya, tanda-tanda yang setidaknya memperkuat keberadaannya saat ini. Ia bagai lenyap begitu saja. Ditelan bumi. Ditenggelamkan samudera waktu yang terus menampar tubuh, sampai kita tua dan wajah dipenuhi dengan keriput kelelahan. Saya sendiri, terlampau sibuk untuk terus berlarut-larut dengan kejadian ini. Saya tak mau pula jatuh dalam pusara yang sangat tidak mengenakkan ini. Masih banyak yang mesti saya urusi, sedang kehidupan saya sendiri terasa begitu berantakan. Saya terlanjur bersantai diri, menimbun satu masalah dengan yang lainnya tanpa sempat memecahkan masalah tersebut. Hingga tanpa saya sadari, masalah itu dengan seketika membukit. Menyesakkan jalan akal. Dan, membuat saya begitu takut setiap kali menatapnya. Jadi, untuk apa berpusing-pusing dengan urusan orang, sedang diri sendiri saja belum benar-benar beres? Setiap kali, orang-orang, entah itu sahabat, keluarga, atau teman-teman yang pernah dekat dengan Pedro bertanya, “Kemana Pedro pergi?” lantas saya menjawab “Entah!” atau suatu saat saya berdiam diri, sejenak. Ah, Pedro, siapa Pedro? Ia sebenarnya telah lama saya hapus dari ingatan. Memang, beberapa tahun lalu, ia memang sahabat saya. Bahkan tergolong sahabat terdekat yang pernah saya miliki, pernah pula saya tinggal sekamar dengannya. Namun, masih ada satu yang selalu saya ingat bila Pedro suka sekali menulis puisi. Begitu dalamnya ia menulis puisi. Hampir setiap malam, ia mengambil sebuah buku atau secarik kertas untuk menyusun beberapa buah kata. Ia goreskan kepedihan di sana. Sempat suatu kali saya memergokinya menangis tersedu ketika menulis puisi. Celakanya, saya memang tak pernah peduli dengan puisi-puisi itu. Bagi saya, di zaman modern ini sudah bukan masanya lagi untuk larut dan cengeng pada situasi. Kitalah yang semestinya menggenggam situasi itu, bukan bersitegang. Atau di zaman semacam ini, sudah bukan saatnya lagi sok-sokan untuk bergaya romantis.Saya anggap pekerjaan menulis puisi adalah pekerjaan orang-orang malas. Orang-orang yang selalu kalah pada kondisi. Sutu pekerjaan yang sama sekali tidak menarik, begitu pengumbar perasaan. Ya, mengapa pula kita mesti kalah pada kondisi? Tapi, setelah itu saya kehilangan dirinya.Seusai kerusuhan meledak, dan kota-kota terbakar menjadi arang yang melegam. Empat tahun yang lalu, ketika orang-orang kalap, entah kerasukan iblis dari mana. Gusar terhadap apa saja dengan membakari apa saja-saya tak kunjung lagi bertemu dengannya. Padahal, beberapa hari yang lalu saya masih bertemu dengannya di jalanan. Ia begitu berapi-api dengan semangat membara, berdiri tegak lurus pada aspal jalan yang legam, berkoar-koar dicorong megaphone, berteriak, “Tiada kata lain: Lawan!!” Dan, itulah terakhir kali saya bertemu dengannya. Kata-kata “lawan” yang terus mengiang-ngiang di kepala sampai sekarang. Terakhir kali pula, saya melihat kelelahan di matanya yang bundar itu, ia nampak begitu pucat saat itu. Seperti ada sebuah jarak yang jauh sekali, antara saya dengan dirinya.

Selanjutnya: Jangan Ditanya Kemana Pedro Pergi 2